Lihat ke Halaman Asli

Transformasi Akad dari Gadai ke Jual Beli Sepihak

Diperbarui: 12 Juni 2025   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Transformasi Akad dari Gadai ke Jual Beli Sepihak

Akhir-akhir ini, saya sering mendengar cerita dari teman-teman atau tetangga soal masalah gadai yang berujung ribut. Awalnya cuma pinjam uang, barang ditinggal sebagai jaminan. Eh, tiba-tiba barang itu katanya sudah "jadi milik" si penerima gadai. Alasannya karena si peminjam belum bisa bayar utang. Gampangnya, akad gadai berubah sepihak jadi jual beli. Yang bikin miris, kadang barangnya dijual tanpa sepengetahuan si pemilik, atau kalaupun dijual, uang sisanya nggak dikasih tahu ke pemilik barang. Sering kali, utangnya cuma 2 juta, barangnya malah dijual 5 juta, sisanya masuk kantong penerima gadai. Fair nggak? Tentu saja enggak.

Kalau mau jujur, kasus seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Ini seperti penyakit lama dalam praktik gadai yang masih saja muncul sampai hari ini. Apalagi di lingkungan masyarakat kecil yang kadang tidak sepenuhnya paham aturan akad, apalagi hukum Islam soal muamalah. Yang penting butuh uang cepat, urusan nanti belakangan. Ini yang bikin masalah makin ruwet.

Padahal, kalau kita bicara dari sudut pandang Islam, akad itu bukan cuma formalitas, bukan sekadar tanda tangan atau ucapan setuju di depan orang. Akad itu tanggung jawab. Di dalamnya ada hak orang lain yang harus dijaga. Dan Islam memandang akad gadai atau rahn itu beda banget dengan jual beli. Dalam gadai, barang itu tetap milik orang yang menggadaikan. Si penerima gadai cuma berhak menyimpan barang itu sebagai jaminan sampai utangnya lunas. Kalau nggak lunas, solusi syariahnya ya barang itu dijual dengan persetujuan kedua belah pihak, utang dibayar, kalau ada sisa dikembalikan.

Nah, kalau kemudian barang itu malah diambil alih sepihak, atau malah langsung dijual tanpa persetujuan, itu udah masuk pelanggaran. Kalau kita ibaratkan, ini kayak titip motor ke bengkel, eh tahu-tahu motornya dijual tanpa kabar. Kira-kira gimana perasaan kita?

Banyak orang beralasan, "Kan dia nggak bayar utang, ya wajar kalau barangnya jadi milik saya." Nah, alasan seperti ini sering dipakai, padahal jelas-jelas nggak sesuai syariah. Dalam Islam, kita dilarang mengambil keuntungan dari transaksi pinjam-meminjam. Bahkan Rasulullah SAW bersabda, "Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba." Nah, kalau utang 2 juta, lalu barangnya dijual 5 juta dan diambil semua, itu sama saja nyari untung dari utang. Itu riba terselubung.

Kalau mau jual barang gadai, harusnya dua-duanya duduk bareng, ngobrol baik-baik. Bahkan kalau perlu dijual di tempat yang resmi atau melalui lelang, supaya jelas harganya, dan nggak ada yang dirugikan. Kalau pun ada lebihnya, ya itu hak si penggadai. Jangan malah dikemplang.

Masalahnya, kenapa hal seperti ini masih sering kejadian? Salah satu penyebabnya karena masyarakat kurang ngerti tentang jenis-jenis akad. Banyak yang mengira semua transaksi sama. Padahal akad rahn (gadai) itu beda dengan akad jual beli. Kalau jual beli, barang berpindah tangan. Kalau gadai, barang hanya dititipkan sebagai jaminan utang. Tapi karena kurangnya pemahaman, akhirnya akad berubah seenaknya.

Biar lebih jelas, saya kasih contoh sederhana. Misalnya A minjam uang ke B sebesar 3 juta, lalu A menggadaikan motor. Setelah beberapa bulan, A belum bisa bayar. Lalu B bilang, "Motor ini saya jual aja ya, buat nutup utangmu." Kalau A setuju, boleh. Tapi kalau A belum setuju atau bahkan nggak tahu barangnya udah dijual, itu jelas haram. Bahkan kalau dijual, lalu harganya lebih dari utang, sisa uangnya wajib dikasih ke A. Kalau nggak? Ya jatuhnya haram.

Kalau kita lihat ke sejarah fiqih, para ulama dari dulu sudah tegas soal ini. Imam Nawawi bilang, jual barang gadai tanpa izin pemiliknya itu haram. Nggak sah akadnya. Ini nggak cuma soal aturan, tapi soal amanah. Rasulullah SAW saja pernah berpesan, "Orang yang dipercaya harus menjaga amanah orang lain, nggak boleh khianat."

Nah, ada juga yang bilang, "Tapi kan ini sudah disepakati di awal. Kalau nggak bayar, ya barang jadi milik saya." Ini juga nggak sah. Akad yang mengandung syarat seperti itu termasuk syarat batil menurut ulama. Dalam Islam, nggak boleh bikin syarat dalam akad yang ujung-ujungnya merugikan salah satu pihak. Jadi walaupun dari awal sudah bilang begitu, tetap saja hukumnya batil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline