Lihat ke Halaman Asli

Sri Rumani

TERVERIFIKASI

Pustakawan

Kenapa ASN dalam Pesta Demokrasi Harus Netral?

Diperbarui: 1 Desember 2018   09:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri Sumarsono saat ditemui sebelum rapat teknis persiapan Pilkada serentak 2018 di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, Senin (8/1/2018). (KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO)

Bupati Bantul Drs. H. Suharsono pada puncak acara HUT Korpri tanggal 29 Nobember 2018, kembali menekankan agar Korpri harus  menjaga netralitas dalam menghadapi tahun politik dan Pemilu 2019. Tidak memihak kepada salah satu partai peserta pemilu, tetapi mempunyai hak pilih yang harus disalurkan sesuai hati nurani masing-masing (KR,30/11/2018). 

Penekanan Bupati tersebut sudah tepat karena Korpri identik dengan ASN, walau pada awal berdirinya Korpri dengan Keppres No.81 Tahun 1971, tidak secara tegas menyatakan Korpri harus netral. 

Dalam pasal 4 ayat 1 hanya disebutkan:"Korpri bertujuan ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam Negara Republik Indonesia, sebagai syarat mutlak kemajuan di segala bidang menuju masyarakat adil da makmur berdasarkan Pancasila" .

Oleh karena itu Korpri pada era Orba menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari salah satu partai politik peserta pemilu yang berlambang pohon beringin yaitu Golongan Karya (Golkar). ASN boleh menjadi caleg yang diusulkan dari organisasi Korpri atau Dharma Wanita, bukan mengusulkan diri sendiri seperti saat ini, yang harus mempunyai modal untuk biaya kampanye. 

Menjadi anggota dewan saat itu sangat terhormat sebagai wakil rakyat, tokoh masyarakat yang berwibawa dan disegani. Namun dalam perjalanannya ASN sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan para penguasa, khususnya Presiden sampai 32 tahun.

Hal ini dapat berlangsung karena dalam UUD 1945 (asli sebelum dirubah) pasal 7 berbunyi: "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali". Tidak dijelaskan secara pasti dalam penjelasan pasal 7 tersebut, arti masa jabatan lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali, hanya ditulis "telah jelas". 

Kondisi ini membuka peluang untuk menafsirkan, bahwa Presiden setelah lima tahun dapat dipilih oleh MPR kembali, sampai berapa kalinya itu yang tidak jelas. 

Oleh karena itu ketika Suharto terpilih lagi untuk masa jabatan yang ke-7 secara konstitusional sah, karena sesuai dengan konstitusi. Padahal untuk jabatan politik yang lebih rendah sudah dibatasi dapat dipilih kembali, maksimum satu (1) kali masa jabatan

Tahun 1998 yang diawali krisis ekonomi, para aktivis mahasiswa yang berpikir kritis melalukan demo besar-besaran diberbagai kota, yang didukung oleh tokoh-tokoh Nasional seperti Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Amin Rais dan Sri Sultan HB X.

Termasuk di Yogyakarta pada tanggal 20 Mei 1998 ada "Pisowanan Ageng". Berkumpulnya semua komponen masyarakat yang besatu padu dengan pita putih di kepala bertuliskan "Pro Reformasi" di Alum-alun Utara Yogyakarta. 

Sungguh waktu itu suasana kompak, rukun, bersinergi, gotong royong (di pinggir jalan disediakan nasi bungkus dan air mineral gratis). Semua jalan yang menuju ke Alun-alun dipadati pejalan kaki untuk mendengarkan orasi Sri Sultan HB X, dan Sri Paku Alam IX. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline