Lihat ke Halaman Asli

Sri Patmi

Bagian Dari Sebuah Kehidupan

Buku Cetak Sri Patmi "Senandung Rindu untuk Ibu" (Titik Temu Kematian dan Kelahiran Cahaya Jiwa)

Diperbarui: 11 Mei 2021   11:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam jalan yang masih tertatih, kaki kananku masih tidak sanggup menahan rasa sakit. Pelan-pelan jemari jari berjalan jinjit. Dua, tiga langkah aku terjatuh dan tersungkur. Ibu segera memapakku, menggendongku didepan. Tetapi aku memaksakan diri untuk berlatih berjalan. Ibu menurunkan dari pelukan gendongannya. Ibu memegangi kedua tanganku, meletakkan kedua kakiku diatas kakinya untuk berjalan. Jatuh, bangun lagi, menatih. Hatiku bergumam.

"Ya Allah, terima kasih atas anugerah yang telah Engkau berikan kepadaku. Dengan musibah, aku mengambil hikmah. Dengan ini aku memahami, semesta terus bergerak, tetapi kasih sayang ibu tak pernah berjarak. Meski dihimpit tanah sesak, kelembutannya bagai jejak yang tak tertebak".

Tangisku buncah, menangis terisak. Bukan karena rasa sakit pada kakiku. Sakit menjadi faktor lain sebagai perantara. Dari situ, sudut pandangku berubah. Memandang seorang ibu bukan sosok manusia biasa. Beliau terlahir dengan kemuliaan. Semesta menaunginya dengan penuh harkat dan martabat yang tinggi. Bertahta dengan mahkota berharga. Meraja dengan penuh ketulusan. Duduk pada singgasana surgawi. Saat aku terjatuh, ibu yang selalu membangkitkanku dalam aroma kehidupan yang ditabur dalam sentuhan. Satu kesimpulan yang sudah pasti ditanamkan dalam jiwa tanpa adanya hipotesa dan peneliatian Apriori serta aposteriori. 

Hanya mampu dijamah dengan rasa, sedikit sekali peran Indra. Satu-satunya orang yang tak pernah meninggalkan, apapun kondisinya adalah ibu. Satu-satunya cinta yang tulus adalah cinta orang tua. Badanku serasa dingin, hangat panas menyebar di seluruh tubuh. Setelah minum obat, aku membuat barikade diri, membentengi supaya rasa sakit segera pergi. Sinar mentari pagi ini bak hangat kasih sejati yang berbaur dengan ketulusan yang abadi. Selama ini kita hanya berkawan dengan sendiri. Hingga guliran waktu terus mengejar. Saat ini aku sedang berjibaku dengan permulaan. Berbenturan dengan ego diri yang ingin segera sembuh meski terkesan memaksakan. Rencana terbaik dari Allah untuk mengistirahatkan diriku yang aktif bergerak melebihi robot. Hingga lupa hakikat diri sebagai manusia. Lain halnya dengan ibu, ia sudah seperti mesin saja yang terus bergerak. Ibu jarinya berjalan membagi satu jari dalam hitungan tiga ruas. Lirih kudengar suara tasbih dan takbir bergumam dari mulutnya. Mengukir ke udara menjelma menjadi wujud nyata yang tidak pernah termakan usia.

***

mock-up-senandung-rindu-untuk-ibu-2-609a0da6d541df7cf20c2472.jpeg

Sepenggal kisah ini berada dalam susunan kalimat dalam Buku "SENANDUNG RINDU UNTUK IBU (Titik Temu Kematian dan Kelahiran Cahaya Jiwa). Materi kehidupan yang tidak pernah didapatkan selain dengan proses yang berjalan, tertatih, terjatuh dan bangkit lagi. Itulah keluhuran nilai yang diajarkan seorang ibu. Jadi... ketika ada yang menjatuhkan, bangkitlah! Ingatkah ketika ibu mengajarkan berjalan meski tertatih-tatih? 


Salam, 


Sri Patmi 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline