Hai teman-teman semua, kembali lagi bersama aku untuk membahas seputar keuangan mahasiswa.
Beberapa waktu lalu, kita udah cerita soal dana darurat, yang kayak P3K di tas kita. Siap pakai buat nutupin luka gores atau sakit kepala tiba-tiba. Terus, kita juga udah bahas soal backup plan, yang kayaknya udah jadi baju zirah lengkap.
Tapi, di antara P3K dan baju zirah itu, ada satu lapisan lagi yang seringkali kita lupakan, padahal ini adalah tameng paling tebal yang kita pegang saat dunia bener-bener terasa mau runtuh. Namanya adalah Dana Cadangan Darurat.
Lalu, apa sih bedanya sama P3K tadi? Biar aku cerita dari sebuah pengalaman yang bener-bener bikin aku ngerti arti "selamat".
Dulu, Aku Merasa Sudah "Cukup" Mandiri
Beberapa bulan lalu, ada masa di mana aku merasa sudah jadi mahasiswa yang cukup beruntung dan mandiri. Aku punya uang saku dari orang tua yang jumlahnya pasti setiap bulannya. Dari situ, aku bisa bayar kos, makan, jajan, dan bahkan menyisihkan sedikit buat jalan-jalan atau nonton film. Aku buat anggaran di excel, aku warna-warnain, dan aku merasa punya kendali penuh atas hidupku. Aku merasa dewasa.
Hingga suatu sore, teleponku berdering. Dari rumah.
Aku angkat, dan suara Mama di seberang terdengar agak berbeda. "Nak, bulan ini... uang saku kamu mungkin harus dikurangi dulu, ya."
Aku diam. "Kenapa, Ma? Ada apa?"
"Ada keperluan mendadak kantor Ayah, jadi kita harus lebih hemat dulu untuk beberapa bulan ke depan. Nanti Mama transfernya kurang dari biasanya."
Aku mencoba bersuara tenang. "Oke, siap, Ma. Nggak papa kok."