Lihat ke Halaman Asli

Sigit Eka Pribadi

TERVERIFIKASI

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

Bagaimana Bisa Mengobati Masyarakat, Kalau BPJS Saja Sedang "Sakit"?

Diperbarui: 4 September 2019   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gambar | Dokumen Kompas.com

Berdirinya BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Sejak 1 Januari 2014 sebenarnya menandai lahirnya reformasi sektor kesehatan di Indonesia.

BPJS Kesehatan merupakan badan yang menjamin biaya pengobatan Warga Negara Indonesia (WNI) yang dipungut iuran setiap bulan. BPJS Kesehatan merupakan asuransi kesehatan terbesar di dunia. Dengan jumlah anggota lebih dari 215 juta orang.

Namun seiring berjalannya waktu, BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit. Bahkan sampai dengan tahun 2019 defisit mencapai Rp. 28,3 Trilyun, dan yang lebih parah lagi BPJS Kesehatan diprediksikan akan menderita defisit sampai Rp77,9 triliun di tahun 2024.

Berkaitan dengan ini, yang jadi masalah adalah apabila defisit ini terus membesar dan tak terkendali, maka tidak saja hanya mengancam kesinambungan program, tapi juga mengancam kesinambungan fiskal.

Padahal kebijakan fiskal telah dilakukan oleh pemerintah melalui Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang JKN agar pajak rokok dapat menambal defisit BPJS Kesehatan. Dengan aturan ini, sebanyak 75 persen dari setengah penerimaan pajak rokok daerah dialokasikan kepada BPJS Kesehatan. Namun tetap juga tidak dapat mengatasi masalah defisit tersebut, malahan defisit terus bertambah?

Jadi, boleh dikatakan BPJS Kesehatan sedang dalam kondisi "Sakit" atau tidak sehat dan diambang kebangkrutan, nafsu besar tapi tenaga kurang.

Sebuah Badan/Lembaga yang seharusnya dapat memberikan pelayanan kesehatan tapi faktanya saat ini sedang sakit, bagaimana mau menyehatkan anggotanya?

Lalu apa sebabnya BPJS Kesehatan selalu saja mengalami defisit? Inilah Faktanya;

Seluruh proses pembayaran BPJS yang berkaitan dengan keuangan, diterapkan secara terpusat tunggal dan sentralistik, sehingga menyebabkan ketidak efektifan dan kurang pengawasan serta pengendalian dalam proses pembayaran karena bertitik tumpu pada pusat, dan tidak mengikutsertakan peran pemerintah daerah.

BPJS juga Tidak tepat dalam memetakan dan mendata sasaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional diseluruh Indonesia. PBI yang didaftar sebagai peserta JKN oleh Kemensos (Kementerian Sosial), ternyata di lapangan banyak ditemukan seharusnya peserta tersebut masuk kategori PBPU (peserta mandiri).

Kurangnya Sosialisasi kepada peserta Penerima Bantuan Iuran dari pemerintah sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional diseluruh Indonesia, menyebabkan terjadinya diseminasi informasi kepada masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline