Lihat ke Halaman Asli

Sesa Malinda

Mahasiswi Prodi Manajemen Universitas Cendekia Mitra Indonesia

Ubah Norma, Bukan Sekadar Narasi

Diperbarui: 21 Juni 2025   23:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Sesa Malinda. Sumber: Dok pribadi 

Di banyak tempat, terutama di pedesaan, kita masih sering mendengar kalimat klise: "Sudah dibawa lari, ya dinikahkan saja, biar nggak malu keluarga." Tetapi apakah benar "rasa malu" keluarga harus dibayar dengan masa depan seorang anak perempuan? Tradisi seperti merarik di NTB, yang dianggap sebagai bagian dari budaya, seringkali justru menjadi pintu masuk pelanggaran hak anak. Kita harus jujur mengakui: budaya tidak selalu benar. Budaya dapat usang, dan bila sudah membahayakan, maka wajib dikoreksi, bukan dilanggengkan.

Perkawinan anak bukanlah soal cinta atau adat, ini tentang ketimpangan kekuasaan, ketidaktahuan, dan pembiaran yang terstruktur. Bila kita terus berlindung di balik tameng "adat istiadat", maka kita sedang membenarkan ketidakadilan demi kenyamanan semu. Yang perlu diubah bukan hanya pola pikir orang tua atau anak-anaknya, tetapi juga sistem nilai masyarakat yang masih menganggap perempuan dapat "diambil" dan "dinikahi" semudah itu. Sudah waktunya kita berhenti menjadikan budaya sebagai tameng, dan mulai menjadikannya sebagai alat perjuangan untuk melindungi, bukan melukai. Mengubah norma sosial bukan sekadar pilihan, itu kebutuhan darurat bagi generasi mendatang.

Tradisi Bukan Alibi untuk Penindasan

"Ini sudah budaya kami turun-temurun," kalimat ini sering sekali digunakan untuk membenarkan praktik yang merugikan, apalagi terkait kawin lari atau merarik di NTB. Budaya seolah menjadi tameng untuk melanggengkan praktik yang merampas hak anak perempuan. Dalihnya, "kalau anak perempuan sudah dibawa lari, ya harus dinikahkan, biar tidak malu." Tapi, mari kita jujur: siapa sih yang sebenarnya harus malu? Anak yang diculik, atau orang dewasa yang hanya diam melihat masa depan seorang anak dikorbankan?

Tradisi tidak boleh menjadi ruang abu-abu untuk menyembunyikan kekerasan. Mengambil anak perempuan tanpa persetujuan lalu memaksanya menikah bukanlah romantisme budaya, itu penculikan. Dan memaksa seorang anak hidup dalam pernikahan tanpa kesiapan fisik, mental, maupun ekonomi bukanlah tanggung jawab keluarga, itu bentuk pengabaian yang membahayakan.

Budaya memang penting, tetapi bukan berarti tidak dapat dikoreksi. Budaya yang sehat adalah budaya yang tumbuh seiring kesadaran akan hak, martabat, dan kesejahteraan manusia. Bila suatu kebiasaan justru membuat seorang anak putus sekolah, tidak memiliki KTP, hidup dalam kemiskinan, dan kehilangan masa depannya, maka itu bukan budaya, itu bentuk penindasan yang disamarkan.

Sudah saatnya masyarakat berhenti menggunakan "tradisi" sebagai alibi untuk nutup-nutupi praktik yang merugikan perempuan dan anak. Justru karena budaya itu dianggap sakral, maka ia harus dibersihkan dari praktik yang mencederai kemanusiaan. Kita harus mampu membedakan antara melestarikan warisan leluhur dan membiarkan kekerasan merajalela atas nama adat.

Melindungi anak bukan berarti melawan budaya. Melindungi anak berarti menyelamatkan masa depan, termasuk masa depan budaya itu sendiri. Budaya yang tidak melindungi generasi mudanya hanya akan menjadi bangkai yang dibungkus nostalgia.

Perubahan Narasi Tanpa Perubahan Norma adalah Kosong

Berbicara terkait pencegahan perkawinan anak, kita sudah memiliki banyak narasi manis: dari poster di sekolah, kampanye digital di media sosial, hingga pidato pejabat yang penuh kata "perlindungan anak". Tapi mari kita jujur, apakah semua itu benar-benar sampai ke akar masalah? Atau hanya berhenti menjadi jargon di kota-kota besar, sementara di kampung-kampung, anak-anak perempuan masih terus dikorbankan atas nama cinta, aib, atau adat?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline