Penerimaan diri bukan sekadar kata indah dalam buku pengembangan diri. Bagi sebagian orang, self acceptance adalah pintu pertama untuk bisa hidup dengan damai, percaya diri, dan terhubung dengan orang lain.
Inilah yang dirasakan oleh teman-teman tunanetra Yayasan Teratai saat mengikuti Self Acceptance Class, Minggu, 10 Agustus 2025, di Yayasan Teratai. Kegiatan ini menjadi bagian dari program PKM-PM bertajuk "Pemberdayaan Tunanetra sebagai Fasilitator Art-Class Inklusif melalui Experiential Learning untuk Meningkatkan Kepercayaan Sosial."
Bagi penyandang tunanetra, tantangan hidup bukan hanya soal keterbatasan penglihatan. Lebih dalam dari itu, ada persoalan kepercayaan diri, rasa tidak cukup, bahkan penolakan terhadap diri sendiri. Tanpa penerimaan diri, seseorang akan mudah merasa rendah diri, sulit membuka ruang sosial, dan cenderung menutup diri dari pengalaman baru.
Di sisi lain, penerimaan diri yang utuh akan membentuk pribadi yang kuat, berani, dan siap hadir di tengah masyarakat dengan penuh keyakinan. Karena itulah, Self Acceptance Class ini dirancang bukan sekadar sebagai kelas teori, melainkan pengalaman yang menyentuh hati. Berbeda dengan seminar atau workshop pada umumnya, kelas ini dibangun dengan pendekatan personal. Tim memutar audio reflektif dengan dubbing khusus yang dirancang untuk menyentuh inner child setiap peserta. Saat audio diputar, ruangan seakan menjadi ruang perenungan. Hening, khidmat, dan sarat emosi. Beberapa peserta larut dalam keheningan, ada pula yang meneteskan air mata. Momen ini membuka pintu ke dalam diri, menghadirkan kenangan dan luka lama yang seringkali tersembunyi.
Dari situ, mereka diajak melakukan refleksi: mengingat perjalanan hidup, menerima apa yang pernah terjadi, dan belajar berdamai dengan diri sendiri. Yang paling berkesan adalah keberanian peserta untuk berbagi. Pak Jerry dan Pak Iwan, misalnya, sudah lebih dulu menunjukkan penerimaan diri yang kuat. Mereka bercerita dengan tenang dan terbuka, seakan ingin memberi teladan kepada yang lain. Namun, tidak semua proses berjalan cepat. Beberapa peserta masih terbata-bata dalam bercerita. Ada rasa ingin terbuka, tetapi juga ada luka yang masih enggan disentuh. Dari sinilah tim menyadari bahwa penerimaan diri adalah proses personal, unik, dan berbeda bagi setiap orang.
Anggota Yayasan Teratai, Kak Dena (tunanetra totally blindness sejak lahir) saat mengikuti Self Acceptance Class
Ada perbedaan nyata antara tunanetra sejak lahir dengan mereka yang kehilangan penglihatan di kemudian hari. Begitu pula antara penyandang low vision dan totally blindness. Semua membawa pengalaman dan pergulatannya masing-masing.
Kegiatan ini ditutup dengan diskusi kolektif. Masing-masing peserta saling berbagi refleksi, mendengar, dan menguatkan. Suasana kebersamaan itu menghadirkan energi baru: bahwa mereka tidak sendiri, bahwa setiap perjalanan memiliki nilai, dan bahwa setiap orang berhak diterima --- baik oleh dirinya sendiri maupun oleh lingkungannya.
Karena sejatinya, pemberdayaan tidak bisa hanya bicara soal keterampilan teknis. Ia harus berangkat dari pondasi paling fundamental: kemampuan untuk menerima dan mencintai diri sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI