Lihat ke Halaman Asli

sebastianus naga

mahasiswa STP St. Bonaventura KAM

Lio dan Asal Muasal: Sejarah, Budaya, Dan Struktur Sosial

Diperbarui: 26 Februari 2025   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto : DimensiIndonesia 

LIO DAN ASAL MUASAL


Oleh: Sebastianus Naga, STP St.Bonaventura Delitua


Terletak di bagian Timur Kabupaten Ende, Pulau Flores-Nusa Tenggara Timur. Di Kabupaten Ende ada 2 suku besar yakni Lio dan Ende.

Dari mana asal nenek moyang orang Lio?

1.  Menurut catatan sejarah suku-suku di NTT, nenek moyang ‘orang Lio’  di bagian Barat  merupakan campuran Melayu dan Wedoide. Sedangkan di bagian Timur berasal dari campuran Negroide dan Melanesia.  Konon menurut mitos (warisan tutur sebagian kalangan) para  pendatang dari Melaka/Melayu  yang berlayar dengan kapal berkenan menyingghi wilayah Utara Pulau Flores di kawasan Detuwewaria. Mungkin merasa berkenan untuk  menetap maka sebagian dari para pelaut itu memilih tinggal. Sejak saat itu para pelaut dari seberang atau sering disebut ‘ata leja ghawa; ata mangu lau' mengembangkan pengaruhnya dan berkembang biak.

2.  Pandangan lain melihat bahwa kawasan Flores termasuk di Lio juga merupakan daerah taklukan Majapahit yang datang dari Malaka/Melayu. Mungkin mereka inilah yang disebut para pelaut dari seberang yang turut serta membawa tradisi dan adat istiadat ke kawasan Lio.

3.   Dari segi filsafat  dan spiritualitas, komunitas Ata Aku sedikitnya mendapat pengaruh dari Hindu India. Menurut catatan Pater Paul Arnd, SVD dalam bukunya Duä Ngga’e menyebutkan bahwa ada sejumlah unsur khas yang dikenal di India Muka khususnya dalam Hinduisme. Orang India  memandang gunung yang tinggi bersifat ilahi. Di Lio juga sama memandang gunung dan bukit yang tinggi bersifat ilahi dan karenanya dihormati. Pada gunung maupun bukit yang tinggi itu  dibawakan persembahan. Paul Arndt  pun berpendapat bahwa kata ‘ndu’a’ di Ngadha dan ‘nage du’a’ (pegunungan, daerah gunung yang berhutan) adalah sama dengan Duä wujud tertinggi. Di India ular sangat dihormati. Di Lio penghormatan terhadap ular pun sangat tinggi. Dalam Hinduisme bulan dipandang sebagai perahu demikian pun di Lio. Di Lio orang percaya bahwa ada satu pohon beringin yang tumbuh di bulan. Bagi orang Hindu bulan sendiri adalah pohon beringin. Jadi ada kesamaan orang Hindu dan orang Lio yaitu menghubungkan dan mengidentifikasikan wujud tertinggi dengan gejala alam dan benda-benda langit, khususnya  dengan bulan dan benda-benda tersebut dihormati sebagai wujud tertinggi.

4.  Menurut catatan Sareng Orinbao dalam bukunya Nusa Nipa,1969 (hal.31-32)  mula-mula nenek moyang ‘ata aku’ hidup menetap di Wewaria sambil mengembangkan seremoni adat. Tapi karena  kawasan itu sering diserbu oleh ‘orang asing’ seperti dari Bajo Bima atau Seso Bajo Bima, Puak Goa, Puak Sera Lana dan Puak Jawa, maka  kaum ‘ata aku’ memilih berpindah ke kawasan tengah dan Selatan. Perpindahan mereka sambil  membawa serta  nama-nama kelompok, bahasa dan tradisi warisan purba. Ungkapan yang menunjukan bahwa kaum ‘ata aku’ diserbu oleh orang asing  disebut ‘tiko Lio’ yakni sebuah upaya pengepungan oleh para musuh  terhadap kaum ‘ata aku’; sebuah politik “Einkreisung” (politik pengepungan). Oleh pengepungan itu kaum ‘ata aku’ mengembara dan mengecil di masing-masing wilayah. Dengan proses pengecilan itu maka terjadi pula cara hidup isolasionistik. Orang Sikka sering menyebut proses  isolasionistik bagi kaum ata aku sebagai “Lio Loar” (loar=menumbangkan).

Akibat pengungsian oleh kaum ‘ata aku’ maka terjadilah kekosongan di wilayah bagian Utara. Serentak pula oleh kekosongan itu maka ‘orang asing’ pun menempatinya termasuk Puak Kowe Jawa yang kalah itu lebih giat memberantas penyerbuan yang dilakukan oleh Puak Seso Bajo Bima. (Puak Seso Bajo Bima berasal dari Pulau Sumbawa). Dalam upaya memberantas orang asing, Puak Kowe Jawa menjadikan Dondo/Ndondo, Ae Wora dan Kota Jogo sebagai basis konsolidasi pasukan yang dimobilisir dari kawasan Selatan  seperti dari  Ndori, Ndale, Mbuli, Nggela Soge dan Tonggokeo.

Pengungsian purba kemudian menyebar ke wilayah-wilayah seperti Lise, Mbuli, Sera Ndori, Mole, Nggela, Wolojita, dan Ndona. Oleh kenyataan purba demikian  tidaklah mengherankan bila perkampungan tradisional di Lio  selalu berada di tempat yang tinggi, di atas bukit, di dekat jurang yang terjal. Hingga sekarang pada tempat-tempat kuno itu masih tertinggal kuburan dan  ‘Hanga’. Dalam proses selanjutnya di kawasan Tengah dan Selatan itu, kaum ‘ata aku’ kembali berpapasan dengan para pendatang baru dari seberang (sebutan untuk pendatang dari Melayu/Melaka). Melalui hubungan kawin mengawin memungkinkan terjadi perkembangan yang luar biasa di kalangan suku-suku  ‘ata aku’ /Lio.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline