Lihat ke Halaman Asli

sean kenrick hendriyan

seorang mahasiswa

Hidup Cashless di Rantau: QRIS Sebagai Solusi Finansial Mahasiswa?

Diperbarui: 4 Oktober 2025   13:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

New World. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Hidup sebagai mahasiswa perantauan menuntut kemandirian finansial yang mendalam. Dalam konteks ini, QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) tampil sebagai inovasi yang merevolusi transaksi harian, menawarkan kepraktisan 'sekali scan, beres' untuk segala kebutuhan, mulai dari laundry hingga makanan warung. Bank Indonesia (2023) mencatat lonjakan adopsi di kalangan anak muda, mengakui efisiensi dan transparansi fitur pencatatan transaksi yang vital untuk pelacakan anggaran bulanan. Namun, kemudahan ini ibarat pedang bermata dua. Aspek nirsentuh QRIS memicu cashless effect, sebuah fenomena yang dijelaskan dalam penelitian klasik oleh Prelec & Simester (2001): ketika uang tidak berpindah tangan secara fisik, rasa "sakit hati" saat berbelanja berkurang. Hal ini berisiko mendorong perilaku konsumtif dan overspending tak sadar. Selain itu, ketergantungan penuh pada sistem digital menyimpan risiko operasional, seperti kasus kegagalan transaksi akibat server error yang dilaporkan oleh IDNStart (2025) dan OCBC NISP (2025), yang dapat menghambat pembayaran mendesak.

Di lapangan, QRIS benar-benar menjadi mesin efisiensi. Mahasiswa terbebas dari uang tunai yang merepotkan. Sebuah studi oleh Rahmah & Prakoso (2022) mengonfirmasi bahwa QRIS mempercepat transaksi dan memberi dampak positif signifikan pada UMKM di sekitar kampus, mempercepat dorongan menuju budaya cashless dan perluasan inklusi digital (Bank Indonesia, 2023). Dari sisi keamanan dan kontrol, QRIS memberi keunggulan. Kehilangan ponsel masih bisa diatasi dengan fitur keamanan (PIN/sidik jari), jauh lebih aman ketimbang kehilangan dompet. Catatan transaksi yang rapi juga menjadi alat budgeting yang bermanfaat, sebuah fitur yang menurut Putra & Fitria (2022) berperan penting dalam mengedukasi generasi muda tentang keterampilan finansial. Meskipun demikian, janji keamanan digital ini tidak bebas dari risiko. Laporan Kominfo (2022) menunjukkan kasus penipuan berbasis tautan palsu dan pencurian data masih marak. Keamanan QRIS, dengan demikian, bergantung pada literasi digital pengguna. Selain itu, Wulandari & Sari (2021) menyoroti kendala literasi digital di kalangan pedagang kecil dan masalah jaringan internet tidak stabil sebagai hambatan nyata terhadap efisiensi.

QRIS adalah instrumen yang transformatif bagi mahasiswa perantauan, menawarkan kepraktisan, keamanan, dan transparansi budgeting. Namun, risiko overspending yang disebabkan oleh efek psikologis pembayaran nontunai dan kerentanan sistem akibat masalah jaringan tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, efektivitas QRIS tidak hanya terletak pada teknologinya. Tantangan ini menjadi alarm bagi mahasiswa untuk tidak hanya cashless (nir-tunai) tetapi juga conscious (sadar) dalam mengelola keuangan dan menekankan bahwa jejak digital QRIS dapat menjadi senjata melawan boros, asalkan dimanfaatkan sebagai bahan refleksi keuangan.

Pada akhirnya, QRIS harus dipandang sebagai medium pembelajaran finansial. Keberhasilan sistem pembayaran digital ini menuntut langkah strategis dari perguruan tinggi dan lembaga keuangan untuk memberikan edukasi yang komprehensif. Dengan penguatan literasi finansial dan digital, QRIS dapat benar-benar menjadi instrumen untuk membentuk mahasiswa perantauan yang cerdas, disiplin, dan resilien secara finansial di era digital.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline