Lihat ke Halaman Asli

Nurul Fauziah

Mencintai tulis-menulis

Kelabu

Diperbarui: 28 Mei 2021   20:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto : @taripido via Instagram


Di suatu hari nan kelabu.
Saat matahari kejar-kejaran dengan waktu.
Saat kebahagiaan di dunia adalah fatamorgana yang menipu.
Kau, dengan tampang yang lesu, bicara padaku.

Kau bilang, "Aku mulai takut dengan datangnya pagi."
"Aku tahu bahwa hari-hari harus dilewati."
"Aku mengerti bahwa tak ada yang abadi."
"Namun, ini sulit. Takdir jahat sekali."

"Aku ingin mati."

Aku menghela napas dalam.
Berat rasanya bersajak untuk kisah yang kelam.
Angin bertiup ke arah cakrawala yang kejam.
Tetesan tinta untuk merangkainya, terasa lebih gelap dibanding malam.

Aku berkata, "Kawan, haruskah kita pergi?"
"Ke tempat di mana kita tak perlu mengingat hari."
"Mengejar bintang utara di ujung bumi."
"Kita akan bersenang-senang. Ayo, kita lari!"

Kau tersenyum getir, "Kawan, kita tak bisa lari."
"Mau kau membual pada langit, menipu semesta, kita tak bisa lari."
"Kita hanya burung dalam sangkar yang harus membiarkan segalanya datang dan pergi."
"Oh ngomong-ngomong, apa kita bisa ke surga jika mati?"

Wajahku datar dadaku bergemuruh.
Rasanya janji-janji atas dunia telah luruh.
Kebahagiaan seolah menjadi mimpi yang rapuh.
Sepertinya, surga pun telah menjauh.

Kisah sendu ini milik si hati yang terluka.
Dunianya direbut paksa oleh orang-orang yang rakus dan gila.
Nyawanya seakan telah meninggalkan raga.
Hancur, terpuruk... Ia lupa merasa berharga.

Sangkar menakutkan itu mendadak terbuka di kemudian hari.
Lantas, burung di dalamnya terbang meninggi, menolak untuk kembali.

[Ditulis di Saningbakar, Solok, 28 Mei 2021]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline