Surat-surat antara Peter Abelard dan Hlose yang tetap menarik untuk dibaca hingga kini bukan semata karena romantisme tragisnya, melainkan karena di balik kisah cinta itu hadir seorang pemikir yang menolak tunduk pada dogma tanpa perlawanan akal. Abelard bukan hanya seorang guru, melainkan simbol keberanian intelektual di abad pertengahan.
Lahir di Prancis sekitar tahun 1079, Abelard tumbuh menjadi salah satu logikawan paling menonjol pada zamannya. Ia memulai karier sebagai pengajar filsafat dan teologi, tetapi reputasinya dibangun lewat sikap kritis terhadap ajaran gereja. Dengan caranya yang lugas, ia menegaskan bahwa iman tidak boleh mematikan akal, melainkan perlu didialogkan dengan logika (Marenbon, 1997:3).
Logika: Sic et Non
Salah satu karya terpenting Abelard adalah Sic et Non. Bila diterjemahkan secara harfiah, Sic et Non berarti "Ya dan Tidak". Dalam teks tersebut, dia mengumpulkan lebih dari seratus pertanyaan teologis yang tampak saling bertentangan. Tujuannya bukan untuk menambah kepelikan dalam diskusi teologis, melainkan melatih pembaca untuk menggunakan akal budinya. Dengan kemampuan rasional, Abelard bermaksud mengajak pembacanya untuk menavigasi kontradiksi-kontradiksi dalam 100 pertanyaan teologis yang diajukannya. Dengan pendekatan dialektika, Abelard menunjukkan bahwa teologi tidak cukup disandarkan pada kutipan ayat, melainkan harus dibedah secara kritis (Abelard, 1121:Prolog).
Etika: niat di atas tindakan
Selain logika, kontribusi Abelard dalam bidang etika juga penting. Dalam bukunya yang dia tulis berjudul Ethica atau Scito te ipsum, Abelard berpendapat bahwa moralitas ditentukan oleh niat, bukan hanya oleh perbuatan lahiriah. Menurutnya, tindakan yang gagal tetapi lahir dari niat baik tetap layak dihargai, sementara tindakan "baik" yang bermula dari niat jahat tetaplah dosa (Luscombe, 1969:27). Pandangan Abelard tersebut menggeser fokus etika 'gaya' abad pertengahan menuju refleksi yang jauh lebih mendalam mengenai hati manusia.
Drama pribadi dan kontroversi
Satu hal yang perlu kita tahu adalah Abelard bukan sekadar pemikir yang kering. Kehidupannya sendiri dipenuhi konflik dan tragedi. Hubungan cintanya dengan Hlose, seorang murid sekaligus pasangan intelektualnya, harus berakhir ketika keduanya dipaksa masuk ke dalam biara. Seperti kita ketahui, biarawan dan biarawati adalah mereka yang memilih kaul kemurnian alias tidak diperbolehkan menikah. Kisah Abelard dan Hlose diabadikan dalam surat-surat yang memadukan romansa dan refleksi teologis.
Tak berhenti di situ, pandangan-pandangan Abelard lebih sering dianggap terlalu radikal oleh otoritas gereja Katolik masa itu. Akibatnya, Abelard dituduh sesat oleh gereja dan dipaksa mundur dari pengajarannya.