Lihat ke Halaman Asli

Salmun Ndun

Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Ketika Dentuman Musik Keras Membungkam Ketenteraman Sosial

Diperbarui: 13 Oktober 2025   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input gambar: istockphoto.com

KETIKA DENTUMAN MUSIK KERAS MEMBUNGKAM KETENTERAMAN SOSIAL

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: youtube.com

Fenomena pesta dengan dentuman musik keras bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) telah menunjukkan dinamika budaya dan relasi sosial masyarakat lokal yang kompleks. Musik dalam pesta bukan hanya sekadar ekspresi kesenangan, tetapi juga menjadi bentuk afirmasi identitas dan ajang negosiasi sosial di antara warga. Bagi sebagian orang, musik keras melambangkan kemeriahan dan kebanggaan dalam berbagi sukacita, sebuah cara untuk menunjukkan eksistensi dan keterbukaan terhadap lingkungan sekitar.

Namun di sisi lain, kebiasaan ini sering kali menimbulkan gesekan sosial ketika makna kebersamaan berubah menjadi sumber ketegangan karena batas kenyamanan tidak lagi dijaga. Di sinilah tantangan kultural muncul: bagaimana masyarakat dapat tetap mempertahankan tradisi sukacita yang khas tanpa mengorbankan nilai tenggang rasa dan ketenteraman sosial yang juga menjadi bagian dari jati diri budaya NTT.

Pada umumnya kondisi ini terjadi di wilayah NTT. Hal ini sudah menjadi kebiasaan umum, bahwa setiap kali ada hajatan sukacita seperti pernikahan, pesta ulang tahun, atau acara adat selalu terdengar suara musik yang diputarkan. Sebenarnya, hal itu tidak menjadi masalah karena musik adalah bagian dari ekspresi kegembiraan manusia. Namun, yang sering luput dari kesadaran adalah kecenderungan memutar musik dengan dentuman keras hingga melampaui batas kewajaran.

Input gambar: dokpri, sound musik di sebuah hajatan pernikahan

Volume yang terlalu tinggi bukan lagi menambah semarak suasana, tetapi justru mengganggu ketenteraman warga yang tinggal di sekitar arena hajatan. Di sinilah letak persoalannya: bagaimana menjaga agar kebahagiaan pribadi tidak berubah menjadi kebisingan sosial yang menghapus rasa nyaman bersama. Musik sejatinya adalah bahasa universal yang mengikat rasa, tetapi ketika volumenya melampaui batas, ia kehilangan makna harmoni. Irama yang semestinya membawa kegembiraan justru berubah menjadi dentuman yang mengusik.

Malam yang seharusnya tenang bagi mereka yang ingin beristirahat, berubah menjadi ruang bising tanpa jeda. Banyak orang terpaksa menutup pintu, bahkan ada yang harus memakai penutup telinga, hanya demi mencari kembali sepotong ketenangan. Di titik ini, kita diingatkan bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh menenggelamkan hak orang lain untuk hidup tenteram. Musik boleh bergema, tetapi biarlah tetap dalam nada yang menghormati keseimbangan sosial.

Input gambar: dokpri

Fenomena memutar musik dengan volume tinggi sering kali ditemui, baik di ruang publik maupun di lingkungan permukiman. Dari hajatan hingga pesta kecil, bahkan sekadar nongkrong di pinggir jalan, dentuman keras seolah menjadi simbol kegembiraan yang harus ditunjukkan kepada dunia. Namun di balik itu, terselip sisi egoisme yang sering tak disadari: keinginan untuk menikmati hiburan pribadi tanpa memedulikan kenyamanan orang lain.

Banyak yang lupa bahwa kebebasan berekspresi memiliki batas ketika mulai menyentuh hak orang lain untuk tenang dan beristirahat. Dalam kehidupan sosial, empati menjadi penuntun agar kebahagiaan yang dirasakan satu pihak tidak berubah menjadi gangguan bagi pihak lain. Sebab, harmoni dalam bermasyarakat hanya akan terjaga jika setiap individu mampu menempatkan kebebasannya dalam bingkai kesadaran sosial.

Input gambar: dokpri

Getaran keras dari dentuman musik bukan sekadar suara yang memenuhi ruang, tetapi gelombang yang meresap hingga mengusik keseharian banyak orang. Anak-anak kehilangan konsentrasi belajar, orang tua sulit beristirahat, dan suasana sosial perlahan retak karena rasa jengkel yang terpendam. Dalam jangka panjang, kebisingan semacam ini bisa menumbuhkan jarak emosional antarwarga, menumbuhkan keluhan, bahkan memicu konflik kecil di tengah masyarakat.

Dari sisi etika, kebisingan adalah bentuk nyata dari hilangnya empati sosial, saat seseorang lupa bahwa di balik dinding rumahnya, ada orang lain yang juga membutuhkan ketenangan. Empati menjadi kunci untuk menjaga harmoni di lingkungan bersama; hal ini mengajarkan kita untuk menimbang kenyamanan pribadi dengan rasa hormat terhadap hak orang lain. Dengan begitu, masyarakat dapat hidup berdampingan dalam suasana yang tidak hanya meriah, tetapi juga penuh tenggang rasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline