Lihat ke Halaman Asli

Hafizah Sang Pencerah

Diperbarui: 1 Desember 2022   10:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hafizah Sang Pencerah

oleh Saiful Asyhad, S.H.

 

Perempuan umumnya diidentikkan dengan konco wingking. Akibatnya, mereka sama pula dengan orang yang hanya menjadi makmum bagi suaminya. Walhasil, mereka pun jadi pasif dan nyaris tidak mengambil peran di dalam kehidupan bangsanya.

Pandangan seperti itu sedikit demi sedikit tumbang oleh kenyataan dalam keseharian. Betapa banyak sekarang ini perempuan yang beriringan dengan kaum pria dalam berkarir. Bahkan, kaum hawa itu kini menjadi tulang punggung keluarga karena tuntutan pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh kaum wanita.

Lebih jauh lagi, perempuan yang putri-putri kiai pun kini berjuang bersama-sama dengan ayahandanya dalam menghidupi pesantrennya. Sudah bukan hal yang langka dalam realita sosial, ning-ning itu berjibaku dalam berbisnis dengan nawaitu khusus untuk sangu ibadah. Lebih spesifiknya ya menghidupi keberlangsungan pesantrennya. Maka, di mana-mana sudah banyak kita temui toko-toko busana muslim dengan nama-nama islami. Misalnya: Rizquna, Rizqua, Rahmatuka, dan sebagainya.

Nah, yang lebih mencengangkan adalah hafizah menjadi penggerak roda ekonominya. Perempuan yang sudah hafal Al-Qur'an 30 juz itu juga menceburkan dirinya dalam kancah pemberdayaan pondok pesantrennya. Meski mereka harus menghafal minimal 3 juz setiap hari, tapi setiap hari pula mereka tetap menyempatkan diri untuk mengatur toko-tokonya. Paling tidak, seminggu sekali, mereka mengecek secara langsung kondisi riil tokonya yang biasanya dijalankan langsung oleh mbak-mbak dan kang-kang ndalem. Santri-santri putri dan putra yang menjadi kepercayaannya itulah ujung tombak toko Bu Nyai.

Aktivitas perdagangan mereka pun unik. Misalnya, naik turunnya harga barang-barang hanya ditentukan tiap awal bulan Rajab. Jadi, hanya setahun sekali mereka mematok harga tiap barang dagangannya.

Kemudian, zakat tijarah atau perdagangan mereka hitung sebelum Hari Raya Idul Fitri. Zakat itu mereka salurkan sendiri kepada fakir miskin di sekitar toko mereka. Juga untuk anak yatim piatu yang tak mampu, dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Dengan demikian, masyarakat di sekitar mereka merasa dipedulikan.

Sementara itu, keuntungan hasil usaha sisanya disumbangkan seluruhnya untuk kepentingan pesantren. Misalnya, intensif bulanan untuk ustadz dan ustadzah, biaya hidup mbak-mbak dan kang-kang ndalem, pembangunan gedung baru untuk menampung santri-santri baru yang terus bertambah tiap tahun, dan lain-lain. Jadi, segala aktivitas ekonomi yang Bu Nyai lakukan itu benar-benar untuk sangu ibadah kepada Allah Swt.

Bagi para Bu Nyai sebagai pendamping para kiai, hidup itu harus terus dilandasi dengan niat ibadah kepada-Nya. Hal yang paling membahagiakan bagi pendamping kiai yang juga hafizah itu adalah keberhasilan santri-santri putrinya dalam mendirikan dan mengembangkan dunia pesantren tahfiz di daerah masing-masing di seluruh Indonesia. Makin banyak pondok tahfiz yang disemaisuburkan oleh alumninya, makin besar pula rasa bahagia di dalam hati Bu Nyai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline