Lihat ke Halaman Asli

Wahyuni Susilowati

TERVERIFIKASI

Penulis, Jurnalis Independen

Seusai Selebrasi 17 Agustus-an

Diperbarui: 18 Agustus 2023   19:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kibaran Sang Saka, sudahkah kita mensyukurinya dengan pantas? (doc. Wahyuni Susilowati/ed.WS)

Tentang kegembiraan perayaan ...

Rangkaian upacara peringatan kemerdekaan tahun ini selepas barikade pandemi memang terasa lebih masif digelar dari tingkat nasional sampai jenjang rukun tetangga. Begitupun berbagai aktifitas penggembira yang menyertainya dari mulai aneka perlombaan khas 17-an seperti adu cepat makan kerupuk dan tarik tambang, jor-joran diskon aneka produk sampai dengan penganugerahan apresiasi untuk para peraih prestasi lintas bidang lintas skala pun berlangsung lebih semarak.

Kemerdekaan memang anugerah yang istimewa dan sangat penting, ya?

Budak penggali jalan dan budak seks ...

Jadi teringat pada banyak leluhur kita yang diuji mengalami nasib jadi budak-budak penjajah VOC Belanda di era pemerintahan gubernur Herman Willem Daendels, yang dipaksa bekerja nyaris tak kenal waktu menggali dengan peralatan seadanya jalur jalan antara Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sepanjang 1000 kilometer.

Banting tulang di bawah intimidasi fisik dan mental para mandor yang tak kenal belas kasihan, tanpa upah ditambah dukungan pangan yang bisa dibilang sangat minus. Bagi mereka, segala kegembiraan sederhana yang kita cicipi itu bak bulan yang sangat dirindukan burung pungguk. Terlalu jauh bahkan untuk sekedar diimpikan.

Padu padan aneka kebaya dan busana tradisional lainnya yang telah diadaptasi dengan selera kekinian terpampang cantik di layar-layar aneka gawai pun merupakan kemustahilan bagi para perempuan yang tak berkutik saat mereka ditangkapi lalu dijebloskan paksa ke kamp-kamp bordil sebagai pemuas syahwat kelamin para serdadu Belanda atau Jepang di era kolonial mereka masing-masing.

Syukur aku sembahkan ..

Kemerdekaan bisa begitu nikmat untuk dirayakan dengan mengenang sepenuh hormat tiap tetes peluh, air mata, dan darah para pejuang yang menumbalkan hidup mereka, berikut sanak keluarga serta handai taulan yang ikut berjibaku, untuk sebuah revolusi. 

'Terima kasih' pada para pejuang selayaknya tak sekadar jadi pemanis bibir, namun membenih di dasar nurani yang semoga perlahan akan bertumbuh mengakar sebagai sebentuk syukur padaNya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline