Lihat ke Halaman Asli

13 Jan 1913

Diperbarui: 23 November 2020   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ku buka mataku, mencoba melihat sekelilingku dan menebak pukul berapa sekarang. Hawa dingin yang datang dari luar membuatku ingin tidur kembali, tapi kupaksakan untuk tetap bangun. Aku berguling ke kiri dan melihat keluar jendela, "masih pagi" gumamku, aku berdiri, melakukan sedikit peregangan dan melihat sekeliling kamarku sekali lagi sebelum aku keluar kamar. Ku ambil handuk yang tergantung di dinding dan masuk ke kamar mandi. 

Air dingin yang menerpa diriku langsung membangunkan sarafku yang masih tertidur lelap, selesai mandi aku pergi kedapur untuk membuat sarapan, kunyalakan kompor dan kuambil telur yang ada di rak lalu kupecahkan telur diatas wajan yang panas. Suara desis yang keluar dari telur ketika menyentuh wajan terdengar jelas di seluruh penjuru rumah, bau harum dari telur yang sedang digoreng mulai tercium dan membuatku menjadi lapar, kuambil daging kering lalu kupotong kecil-kecil dan kumasukan kedalam wajan. Beberapa menit kemudian, telur telah matang dan siap untuk disajikan. 

Setelah sarapan aku bersiap-siap untuk berburu, kuambil senapan yang terpajang di ruang tamu dan bersiap untuk keluar menuju hutan. Desa kami berada di lembah yang dikelilingi gunung, dekat dengan mata air dan dikelilingi oleh tembok yang digunakan untuk menghalau binatang buas. satu-satunya cara keluar desa adalah melewati gerbang utama yang berada di balai desa.

Aku biasanya berburu bersama temanku, Ben. Kami biasanya berkumpul di lapangan desa. Ben mengatakan lapangan desa adalah tempat yang cocok untuk berkumpul, tapi aku tau dia mengatakannya karna dekat rumahnya.

Baru saja berjalan beberapa meter, jantungku berhenti sebentar. Didepanku, sedang membawa keranjang buah apel, adalah gadis tercantik di dunia. Rambut coklatnya yang tergerai ke belakang, mata sebiru lautan dan kulit seputih mutiara. Ia bagaikan bidadari yang turun langsung dari surga. Jantungku berdebar tak beraturan tetapi kucoba untuk tetap tenang. Dia melihatku dan tersenyum, aku coba membalas senyumnya tapi karena gugup, senyumanku malah terlihat aneh.

"Hai Jason"

"H-hai, Annie" jawabku dengan gugup

"Mau kemana?" Tanyanya.

"M-mau pergi b-berburu, k-kamu sendiri?"

"Mengantarkan apel ke ayahku"

"O-oh"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline