Abstrak
Artikel ini membahas tentang apa itu khawarij dan dan kita bisa mengenal lebih dalam tentang sejarah khawarij setelah kita mengenal apa itu khawarij kita juga bisa mengenal mengapa khawarij itu terjadi dan siapa aja tokoh tokoh ynang paling menonjol dalam sejarah khawarij itu dan apa ciri ciri kaum khawarij itu lalu kita bisa tau bahwasanya yang bisa berkhianat bukanlah orang kafir saja melainkan kaum kitanya sendiri, juga bisa berkhianat,dan kita bisa mengetahui setelah nabai muhammad wafat itu ada kejadian konflik yang sangat besar dan konflik tersebut merupakan konflik yang salah paham,dan kita bisa mengetahui apa saja yang dilakukan oleh ali untuk mengatasi konflik khawarij tersebut agar tidak menjadi tambah parah untuk kedepannya,mengapa kita harus mgetahui sejarah islam yang tentang khawarij itu? Karena agar kita tidak mngulangi kesalahan yang ada di masalalu tersebut yang hampir saja bubar karena nabi wafat,dan selain itu kita bisa tau tentang bagaimana cara mengatasi konflik yang terjadi tersebut tetapi tidak menggunakan kekerasan melainkan menggunakan kesabaran,akal dan tanpa kekerasan.
Kata Kunci: Khawarij, Sejarah Islam, Pemikiran Keagamaan,Perkembangan, Ali bin Abi Thalib.
Abstract
This article discusses what is khawarij and we can know more about the history of khawarij after we know what khawarij is we can also know why khawarij happened and who are the most prominent figures in the history of khawarij and what are the characteristics of the khawarij then we can know that those who can betray are not only infidels but our own people, can also betray, and we can know that after the prophet Muhammad died there was a very big conflict and the conflict was a conflict of misunderstanding, and we can know what Ali did to resolve the khawarij conflict so that it would not get worse in the future, why do we have to know the history of Islam about khawarij? Because so that we do not repeat the mistakes that existed in the past which almost broke up because the prophet died, and besides that we can know about how to resolve the conflict that occurred but not using violence but using patience, reason and without violence.
Keywords: Khawarij, Islamic History, Religious Thought, development, Ali ibn Abi Talib.
Pendahuluan
Manusia merupakan mahluk ciptaan Allah yang paling mulia dibandingkan mahluk lainnya. Kemuliaan ini disebabkan oleh peran dan tanggung jawab manusia sebagai kalifah Allah di muka bumi. Dengan anugrah berupa Pancasindra, Akal, Nuri, Naluri, dan Agama. Seharusnya manusia itu mampu menciptakan kehidupan yang harmonis, bahagia, dan sejahtera. Namun, seringkali manusia itu terjerumus oleh hawa nafsu yang digoda oleh setan. Oleh karena itu, diutuslah Nabi kita untuk memperbaiki jalan kita ke depannya, agar tidak melenceng dari perbuatan setan. Sebagai firman Allah, dan tidaklah kami mengutis para rasul itu melaikan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barang siapa beriman dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati. Setelah Nabi Muhammad wafat, terjadi perselisihan antara kaum muslimin yang membaikot Abu Bakar sebagai kalifah pertama. Namun, konflik ini muncul akibat pembunuhan Usman bin Afan. Kemudian, peristiwa ini menimbulkan masalah, yaitu namanya Gawarit. Perselisihan tersebut mencapai puncaknya pada perang Syifin, di mana pasukan Ali berhadapan dengan pasukan Muawiyah. Ketika pertempuran hampir dimenangkan oleh Ali, pasukan Muawiyah mengangkat Al-Quran sebagai tanda permintaan maaf dan damai. Lalu, Ali menerima upaya damai tersebut. Namun, mereka itu akhirnya seperti berhianat kepada kaum Ali. Akhirnya, kaum Ali yang tidak siap dibunuh atau diserang oleh kaum Muawiyah (Hervrizal 2020).
Hasil dan Pembahasan
1. Definisi aliran kawarijh
Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa arab kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Berkenaan dengan pengertian etimologis ini, Syahrastani menyebut orang yang memberontak imam yang sah disebut sebagai khowarij. Montgomery Watt menjelaskan makna Khawarij sebagai berikut Khawarij merupakan kelompok yang muncul dari ketegangan politik dan keagamaan yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Secara hakikat, mereka adalah sekelompok orang yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah peristiwa tahkim. Sikap keluar ini bukan hanya dalam arti politik semata, tetapi juga sebagai bentuk penolakan terhadap otoritas kepemimpinan yang mereka anggap telah menyimpang dari hukum Allah. Bagi mereka, siapa pun yang menerima keputusan manusia dalam urusan agama berarti telah menolak ketetapan ilahi, dan karenanya dianggap kafir. Pemahaman ini berkembang menjadi ideologi yang menuntun mereka untuk mengambil jarak dari masyarakat yang dianggap tidak sejalan dengan pandangan mereka. Khawarij berusaha melakukan pemisahan total dari lingkungan yang menurut mereka tidak beriman, dan memilih untuk "berhijrah di jalan Allah."
Hijrah dalam pandangan mereka bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi sebuah bentuk pembebasan diri dari sistem sosial dan politik yang dianggap penuh dosa dan ketidakadilan. Mereka menolak hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda keyakinan, bahkan dengan sesama Muslim yang dianggap tidak murni dalam keimanan. Dalam praktiknya, semangat pemisahan itu melahirkan tindakan yang lebih keras. Khawarij tidak hanya menarik diri, tetapi juga melakukan perlawanan aktif terhadap pihak yang mereka nilai salah, termasuk Ali bin Abi Thalib. Mereka melihat peperangan melawan Ali sebagai bentuk jihad untuk menegakkan kebenaran dan kemurnian ajaran Islam menurut versi mereka sendiri. Pandangan ini menjadikan mereka merasa memiliki legitimasi untuk memerangi siapa pun yang tidak sejalan dengan tafsir keagamaannya.
Ciri khas lain dari Khawarij adalah keyakinan bahwa iman harus dibuktikan dengan tindakan nyata. Mereka menolak konsep iman yang hanya berakar di hati, melainkan menilai seseorang berdasarkan amal perbuatannya. Dalam pandangan mereka, orang yang melakukan dosa besar otomatis keluar dari Islam dan halal darahnya. Sikap keras dan mutlak inilah yang membuat Khawarij dikenal sebagai kelompok yang ekstrem dan tidak kompromistis. Secara keseluruhan, pemikiran Khawarij mencerminkan pandangan keagamaan yang tekstual dan kaku, yang lebih menonjolkan aspek hukum dan hukuman dibandingkan nilai kasih sayang serta kebijaksanaan yang diajarkan Islam. Pandangan ini kemudian berkembang menjadi akar bagi munculnya berbagai kelompok radikal di masa berikutnya yang mengklaim kebenaran tunggal atas nama agama (Hervrizal 2020).
2. Sejarah munculnnya khawarij
Ketika di zaman Rasulullah, kaum Hawarij itu sebenarnya sudah ada. Namun mereka itu muncul ketika Nabi Muhammad sudah wafat. Dan itu munculnya pada masa kekalifahan Ali bin Abi Talib. Dan sikap mereka itu sangat keras dan cenderung ekstrim, atau bisa disebut dengan terlalu fanatik. Dari sinilah muncul tindakan pemberontakan yang besar di kalangan umat Islam. Yaitu peristiwa ini dikenal dengan pembunuhan kalifah Ali bin Abi Talib. Peristiwa tragis ini menjadi bukti nyata bahwa ideologi Kawairis sangat keras dan berlebihan dalam memahami agama. Mereka menganggap siapapun yang tidak sejalan dengan keyakinan mereka sebagai kafir dan halal diperangi. Sikap seperti ini meskipun agama dia Islam sudah sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menekankan kasih sayang, persadaraan, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, kita harus menghindari mind shet atau cara berpikir yang kaku, fanatik, dan mudah mengkafirkan orang lain menjadi dasar bagi munculnya berbagai gerakan ekstrim modern seperti kelompok sekarang yaitu Wahabi, Al-Qaeda, Jemaah Islamiah, dan lain-lain. Dalam perkembangan zaman modern, bentuk gerakan mereka juga ikut berubah. Jika dahulu perjuangan dilakukan lewat peperangan dan pemberontakan fisik, maka sekarang mereka lebih banyak bergerak di dunia digital. Media sosial seperti WhatsApp, Twitter, dan Facebook menjadi sarana untuk menyebarkan paham radikal, menebar kebencian, serta memojokkan pihak yang berbeda pandangan. Melalui dunia maya, ideologi ekstrem tersebut bisa menyebar lebih cepat dan menjangkau lebih banyak orang, terutama generasi muda yang aktif di internet. Walaupun pemerintah telah berupaya menekan penyebaran paham radikal melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), praktik penyebaran ujaran kebencian dan hoaks masih sulit dikendalikan. Banyaknya akun anonim serta penyebaran informasi palsu membuat aparat harus bekerja ekstra keras untuk membatasi gerakan ini. Kenyataannya, apa yang terlihat di media sosial hanyalah sebagian kecil dari aktivitas propaganda yang terjadi di balik layar. Karena itu, masyarakat perlu lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Literasi digital menjadi hal yang sangat penting agar setiap orang mampu memilah dan menilai informasi dengan cermat. Jangan mudah percaya pada berita yang belum jelas sumbernya, apalagi yang mengandung unsur kebencian atau provokasi. Dengan pemahaman sejarah dan kesadaran akan bahaya ideologi ekstrem, umat Islam dapat lebih waspada terhadap pemikiran yang menyesatkan dan tetap menjaga semangat persatuan dalam keberagaman ( Ahmad Sudi Pratikno 2019).
c. Pro Dan Kontra Aliaran Khawarij
Perselisihan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah dalam peristiwa tahkim (arbitrase) melahirkan perpecahan besar di kalangan umat Islam. Dari sinilah muncul dua kelompok yang saling berseberangan: Khawarij dan Murji'ah. Kelompok Khawarij menolak tahkim karena menganggap keputusan manusia dalam urusan hukum agama bertentangan dengan ajaran Allah. Mereka memandang bahwa siapa pun yang melakukan tahkim atau dosa besar,seperti berzina, membunuh, atau durhaka kepada orang tua adalah kafir dan keluar dari Islam. Pandangan keras ini menunjukkan kecenderungan mereka yang radikal dan tekstual, menilai keimanan hanya dari perbuatan lahiriah tanpa mempertimbangkan kondisi batin atau niat seseorang. Sebaliknya, kelompok Murji'ah menentang pandangan tersebut. Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin, karena penilaian akhir atas dosa adalah hak Allah semata. Murji'ah menekankan pentingnya optimisme dan toleransi dalam beragama, sehingga mereka lebih bersikap moderat dibanding Khawarij.
Murji'ah terpecah menjadi dua aliran. Murji'ah moderat berpandangan bahwa pelaku dosa besar bisa masuk neraka sementara, lalu diampuni sesuai kadar dosanya. Sementara Murji'ah ekstrem menilai iman hanya terletak di hati, sehingga perbuatan lahiriah bahkan jika tampak kufur tidak menggugurkan keimanan. Tokoh ekstrem seperti Jahm bin Shafwan (Jahmiyah) bahkan meyakini surga dan neraka tidak kekal, sedangkan Shalihiyah memandang ibadah seperti salat dan zakat hanya bentuk kepatuhan, bukan ukuran keimanan. Secara kritis, dapat disimpulkan bahwa Khawarij mewakili fanatisme dan sikap keras dalam menegakkan agama, sedangkan Murji'ah menawarkan pandangan sebaliknya,lebih lunak dan penuh toleransi. Perdebatan antara keduanya mencerminkan dua kutub ekstrem dalam sejarah teologi Islam: antara kekakuan hukum dan kelonggaran iman (Ilham 2019).
d. Metode Li Bin Abi Thalib Dalam Menghadapi Khawarij
Dalam menghadapi Khawarij, Ali bin Abi Thalib menggunakan pendekatan yang bijak dan argumentatif, bukan semata kekerasan. Dalam salah satu suratnya, Ali menegur mereka dengan logika moral dan keagamaan: bagaimana mungkin mereka menghalalkan darah sesama Muslim hanya karena perbedaan pandangan politik? Bahkan, kata Ali, membunuh seekor ayam tanpa alasan sudah berdosa besar, apalagi membunuh manusia yang diharamkan Allah. Sikap ini menunjukkan bahwa Ali lebih menekankan dialog, kesabaran, dan kesadaran akal sehat dibanding tindakan represif. Ia berusaha mengingatkan Khawarij bahwa pemahaman mereka telah melampaui batas, karena dengan mudah mengkafirkan sesama Muslim dan menganggap halal darah mereka. Dari konflik ini, muncul perdebatan teologis besar tentang status orang yang berbuat dosa besar. Lahir tiga pandangan utama:
1.Khawarij (pelaku dosa besar adalah kafir dan keluar dari Islam).
2.Murji'ah (pelaku dosa besar tetap mukmin, urusannya diserahkan kepada Allah).
3.Mu'tazilah (pelaku dosa besar berada di posisi antara mukmin dan kafir) bisa juga di sebut dengan (al-manzilah bain al-manzilatain). Secara kritis, metode Ali menunjukkan bahwa konflik ideologis seharusnya dihadapi dengan argumen dan kebijaksanaan, bukan dengan kekerasan, karena fanatisme tanpa nalar hanya akan melahirkan perpecahan dan ekstremisme baru dalam umat Islam (Ilham 2019).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sejarah atau juga bisa disebut(historical method). Dalam metode ini terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan, yaitu heuristik (sejarah), kritik sumber (baik kritik eksternal maupun kritik internal), interpretasi, dan historiografi (menganalisis). Metode sejarah bertujuan untuk meneliti dan menganalisis secara kritis berbagai catatan dan peninggalan masa lalu, agar dapat membangun gambaran yang benar tentang peristiwa atau aktivitas manusia pada masa tersebut.
Langkah pertama adalah heuristik, yaitu kegiatan mencari dan mengumpulkan berbagai data atau sumber yang berkaitan dengan pemikiran Khawarij. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, dengan menelusuri buku-buku, jurnal, dan tulisan yang membahas tentang pemikiran kaum Khawarij.
Langkah berikutnya adalah kritik sumber, yang terbagi menjadi dua bagian:
1.Kritik eksternal, yaitu menilai keaslian dan keotentikan data atau sumber yang ditemukan.
2.Kritik internal, yaitu menilai kebenaran isi atau informasi yang terdapat dalam sumber tersebut. Kedua bentuk kritik ini dilakukan dengan hati-hati, agar informasi yang digunakan benar-benar dapat dipercaya.
Tahap ketiga adalah analisis dan interpretasi data, yaitu menelaah data yang telah dikumpulkan dengan cara mengelompokkan, mengurutkan, dan memahami isinya sesuai dengan fokus penelitian. Proses ini membantu peneliti menarik kesimpulan yang logis dan akurat.Tahap terakhir adalah historiografi, yaitu penulisan hasil penelitian secara sistematis dan ilmiah. Pada tahap ini, semua fakta dan temuan disusun menjadi karya ilmiah yang menggambarkan secara jelas tentang pemikiran Khawarij dalam Islam (Mahfuzah Saniah 2020).