Suntikan Rp200 Triliun: Obat Manjur bagi Ekonomi yang sedang Sakit di sisi Permintaan?
Oleh: Ronald Sumual Pasir, MAEP.
Prolog: Obat yang Salah Sasaran?
Ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa likuiditas perbankan "mengering" dan karenanya pemerintah akan menyuntikkan Rp200 triliun untuk menggerakkan kredit, publik terbelah. Sebagian menyambut ide itu sebagai langkah berani. Sebagian lain, terutama kalangan ekonom yang lebih hati-hati, justru mengernyitkan dahi: benarkah akar persoalan ekonomi Indonesia ada pada likuiditas? Atau jangan-jangan, suntikan dana besar itu hanyalah "obat palsu" yang salah sasaran?
Mari kita telisik lebih dalam.
Likuiditas Bank: Bensin Masih Banyak, Mesin yang Macet
Jika kita tengok data Bank Indonesia dan OJK, sulit menyebut perbankan sedang kering likuiditas.
*Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) per Juli 2025 masih di atas 25%. Angka ini jauh di atas ketentuan minimum 10%. Artinya, bank punya kas yang lebih dari cukup.
*Loan to Deposit Ratio (LDR) berkisar 82--84%. Dalam kondisi normal, angka di bawah 90% justru menandakan ruang kredit masih longgar.
*Dana Pihak Ketiga (DPK) masih tumbuh sekitar 6--7% yoy, meski melambat dibanding era booming konsumsi.
Singkatnya, bensin di tangki bank ada, tapi mobilnya tidak mau jalan. Artinya, masalah bukan di pasokan, melainkan di permintaan.
Pertumbuhan Kredit: Bukan Soal Uang, tapi Soal Minat
Pertumbuhan kredit Indonesia per Juli 2025 hanya sekitar 9% yoy, di bawah harapan double digit. Namun jika dicermati, masalahnya bukan bank tidak mau menyalurkan kredit. Justru calon peminjam yang enggan meminjam.
*Kredit konsumsi (KPR, kendaraan) lesu karena daya beli masyarakat melemah.
*Kredit investasi stagnan di kisaran 4--5% karena perusahaan menunda ekspansi.
*Kredit modal kerja juga tak bergairah, sebab penjualan domestik tidak tumbuh.
Perusahaan yang bangkrut jelas tidak bisa mengakses kredit. Sementara perusahaan yang masih bertahan memilih menunggu, karena apa gunanya tambahan modal kerja jika permintaan barang dan jasa justru menurun?