Lihat ke Halaman Asli

Roman Rendusara

TERVERIFIKASI

Memaknai yang Tercecer

Radikalisme Bukan Terorisme

Diperbarui: 1 April 2021   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar Ilustrasi. Sumber: pixabay.com

Radikalisme acapkali dikaitkan dengan terorisme. Teroris kadang disebut berasal dari kaum radikal. Seorang pelaku bom bunuh diri lumrah dikenal radikalis, sekaligus teroris. Di saat yang sama, kita belum bisa membedakan radikalis dan teroris, radikalisme dan terorisme, serta radikal dan teror.

Secara etimologis, radikalisme berasal dari kata Latin, “radix” yang berarti akar, sumber dan asal-mula. Istilah radikal mengacu pada akar (tumbuhan). Dalam ilmu sosial, contohnya, awal pemikiran modern yang radikal menunjuk pada dasar pijakan, prinsip pertama dan yang paling substansial.

Argumen agama dan filsafat pun menggunakan jalan pikir ini. Bahwa agama mesti berpijak pada prinsip radikal, yakni: yang utama, prinsip pertama. Kitab suci bisa jadi salah satu rujukan itu. Selebihnya, kemanusiaan diletakkan di atas segalanya. 

Radikalisme Agama 

Radikalisme agama, misalnya, pernah terjadi dalam sejarah Gereja. Pertentangan isu-isu dogmatis, Kristologis, eklesiologis, karya pastoral, antropologis dan iman pernah ada. Melalui 95 tesisnya pada 1517, Martin Luther mengajak Gereja Katolik kembali ke dasar, pedoman dan prinsip yang alkitabiah, sesuai ajaran Gereja. Ia menolak ajaran indugensi (pengampunan dosa). Bagi Luther, keselamatan bukan oleh perbuatan baik melainkan karunia Allah (Deo gratia).

Selain Luther, beberapa tokoh dalam sejarah Gereja berhaluan radikalis. Ada Gregory Nazianzen (teolog Trinitas Ortodoks, 329-390), Jean Calvin (teolog Kristen Calvinisme, 1509-1564), Erich Fromm (filsuf sosial, 1900-1980),  dan Paul Ricoeur (cendikiawan Kristen, 1913-2005). Mereka membahas pemikiran Kristen secara radikal.

Hal ini menggambarkan agama selalu berdiri di antara tradisionalisme dan radikalisme. Namun, radikalisme dalam agama dilakukan dalam terang kebenaran dan kasih Ilahi. Makanya, radikalisme selalu melahirkan reformasi-dengan kaum reformisnya, bukan terorisme (dengan terorisnya).

Radikalisme Filosofis

Sementara dalam filsafat, Rene Deccartes terkenal sangat radikal. Melalui epistemologisnya, ia menganalisis pengetahuan dengan cara memikirkan hakikat dasar dari sebuah pengetahuan. Ia ingin “kembali ke kondisi-kondisi dasar” sebuah pengetahuan. Pembelaan tatanan yang mapan sebagai sesuatu yang radikal ala Descartes mampu mengguncang fondasi dasar yang diaminkan oleh pemikir sebelumnya.

Misalnya, “cogito ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada). Bagi Descartes, satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline