Lihat ke Halaman Asli

Rizal Mutaqin

Founder Bhumi Literasi Anak Bangsa

Pemimpin Inklusif: Fondasi Budaya Organisasi yang Memanusiakan

Diperbarui: 19 September 2025   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kediaman Warek 1 Unhan (sumber: Arsip)

Budaya organisasi bukan sekedar jargon yang dipajang di dinding kantor atau dituliskan dalam buku panduan pegawai. Ia adalah napas yang menghidupkan dinamika kerja sehari-hari, membentuk perilaku, serta menentukan arah keberhasilan sebuah institusi. Sebuah organisasi tanpa budaya yang sehat ibarat kapal tanpa kompas, mudah terombang-ambing dan kehilangan tujuan.

Dalam sebuah diskusi sederhana bersama Mayjen TNI Dr. Nugraha Gumilar, penulis buku Budaya Organisasi sekaligus Warek 1 Unhan, muncul refleksi penting: kepemimpinan inklusif adalah salah satu kunci utama terbentuknya budaya organisasi yang sehat. Pandangan ini sejalan dengan kebutuhan dunia kerja modern yang menekankan kolaborasi, keterbukaan, dan penghargaan terhadap keberagaman.

Pemimpin inklusif bukan hanya mereka yang mampu mengarahkan, tetapi juga yang mampu mendengarkan. Sering kali, pemimpin dipersepsikan sebagai sosok yang hanya memberi perintah. Padahal, pemimpin sejati adalah mereka yang menyediakan ruang dialog, menerima kritik, dan menghargai kontribusi setiap individu, sekecil apa pun itu.

Budaya yang "memanusiakan manusia" adalah cerminan dari kepemimpinan inklusif tersebut. Dalam budaya semacam ini, bawahan tidak dipandang sekedar roda penggerak, melainkan manusia dengan potensi, aspirasi, dan perasaan. Hubungan yang dibangun pun tidak kaku atau berjarak, melainkan penuh kepercayaan dan saling menghormati.

Kita bisa melihat bagaimana banyak organisasi besar runtuh bukan karena kekurangan strategi, melainkan karena hilangnya kepercayaan internal. Ketika karyawan merasa tidak dihargai, kreativitas terhambat, semangat kerja menurun, dan loyalitas menghilang. Di sinilah kepemimpinan inklusif menjadi penawar yang ampuh.

Di sisi lain, budaya organisasi yang sehat akan menciptakan iklim kerja kondusif. Anggota organisasi merasa aman untuk berpendapat, nyaman untuk berkolaborasi, dan terdorong untuk berinovasi. Pemimpin yang inklusif akan mampu merangkul perbedaan dan menjadikannya kekuatan kolektif, bukan sumber konflik.

Namun, menjadi pemimpin inklusif bukanlah perkara mudah. Ia membutuhkan kerendahan hati untuk mengakui bahwa tidak semua jawaban ada pada dirinya. Ia juga menuntut keberanian untuk memberi ruang bagi orang lain bersinar. Lebih dari itu, pemimpin inklusif harus konsisten menunjukkan empati dalam setiap kebijakan dan tindakan.

Refleksi ini sangat relevan bagi organisasi di Indonesia, baik di sektor pemerintahan, militer, pendidikan, maupun swasta. Dengan kondisi masyarakat yang beragam, kepemimpinan inklusif dapat menjadi fondasi untuk membangun harmoni sekaligus mendorong produktivitas. Tanpa hal tersebut, organisasi akan rentan terhadap konflik internal dan stagnasi.

Pesan Mayjen TNI Dr. Nugraha Gumilar mengingatkan kita bahwa budaya organisasi tidak bisa dipisahkan dari kualitas pemimpinnya. Pemimpin yang inklusif akan menumbuhkan budaya yang sehat, sedangkan budaya yang sehat akan melahirkan organisasi yang tangguh dan berdaya saing. Hubungan ini bersifat timbal balik dan saling menguatkan.

Membangun budaya organisasi yang "memanusiakan manusia" bukan sekedar tuntutan moral, melainkan juga kebutuhan strategis. Di era yang penuh tantangan dan ketidakpastian, organisasi yang bertahan adalah mereka yang mampu merawat kepercayaan, menumbuhkan rasa memiliki, dan menghadirkan kepemimpinan inklusif yang tulus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline