Banyak yang mengira bekerja di bagian Human Resources (HR) hanya sebatas merekrut karyawan, membuat kontrak kerja, dan mengurus absensi. Padahal, di balik meja personalia, terdapat dinamika yang jauh lebih kompleks, dimulai menjadi penengah konflik, penyambung komunikasi antara manajemen dan karyawan, hingga menjaga stabilitas moral dan produktivitas tim. Tulisan ini adalah refleksi nyata dari apa yang saya alami sebagai praktisi HR di lapangan.
Saat orang bertanya apa tugas utama HR, jawaban mereka sering tidak jauh dari "buat surat kontrak" atau "absen-absenan". Kenyataannya, administrasi hanyalah 20% dari pekerjaan. Sisanya? Menyusun strategi rekrutmen, melakukan evaluasi kinerja, membina hubungan industrial, dan kadang harus menjadi "psikolog" dadakan saat karyawan mengalami burnout atau masalah pribadi yang mempengaruhi kerja.
Salah satu tantangan terbesar adalah menjadi jembatan antara karyawan dan manajemen. HR harus mampu menjelaskan keputusan manajemen kepada karyawan dengan cara yang bisa diterima, dan sebaliknya, menyampaikan aspirasi karyawan ke manajemen tanpa terdengar seperti 'pembela buruh'. Posisi ini rawan jadi sasaran, baik dari atasan maupun bawahan.
Di balik satu karyawan yang lolos, bisa ada puluhan hingga ratusan CV yang harus dibaca, screening, interview awal, hingga koordinasi dengan user. Lalu jika karyawan tersebut tidak bertahan lama, HR lagi yang akan ditanya, "Kok cepat keluar?" Meski penyebabnya bisa jadi di luar kendali, seperti lingkungan kerja yang tidak ramah atau beban kerja yang tidak sesuai ekspektasi.
HR sering menjadi ''penjaga gerbang'' etika perusahaan. Ketika terjadi pelanggaran, seperti pelecehan, penyalahgunaan wewenang, atau bullying di tempat kerja, HR-lah yang pertama harus turun tangan. Menghadapi kasus seperti ini tidak hanya menguras waktu, tapi juga mental. Belum lagi risiko tekanan dari berbagai pihak jika pelaku adalah orang penting di perusahaan.
Ironisnya, saat seluruh karyawan bisa datang ke HR untuk curhat, HR sendiri sering tidak punya tempat curhat. Di satu sisi harus kuat, profesional, dan netral. Di sisi lain, HR juga manusia yang bisa lelah, frustrasi, bahkan tidak dihargai.
Menjadi HR bukan pekerjaan yang mudah. Ia membutuhkan empati setinggi langit, logika setajam silet, dan kesabaran seluas samudera. Tulisan ini bukan keluhan, melainkan pengingat bahwa di balik proses onboarding yang lancar, penggajian yang tepat waktu, dan hubungan kerja yang sehat, ada peran HR yang sering luput dari perhatian.
Semoga tulisan ini bisa membuka mata lebih banyak orang tentang beratnya peran HR dan pentingnya menghargai mereka, bukan hanya sebagai staf administratif, tapi sebagai penjaga budaya dan penggerak keseimbangan dalam organisasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI