Lihat ke Halaman Asli

Rinandita Wikansari

Associate Professor in Applied Psychology | Industrial Psychologist | Coaching MSMEs for Global Market | Developing Future-Ready Workforce

Baper dan Geer Itu Pilihan: Menemukan Keseimbangan Emosional di Masa PDKT

Diperbarui: 28 Juli 2025   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Baper (Sumber: unsplash.com/id/@kellysikkema)

Suatu ketika, kamu bertanya-tanya: "Dia beneran suka, atau cuma ramah aja?"

Di era di mana pesan bisa dibaca tapi tak dibalas, emoji bisa bermakna ganda, dan kata "sayang" bisa dilempar ke siapa saja tanpa ikatan, jatuh hati terlalu cepat sering kali jadi jebakan. Tidak sedikit dari kita yang pernah atau sedang berada di situasi serba ambigu: sedang didekati, tapi tak tahu apakah itu sinyal serius atau sekadar basa-basi manis.

PDKT (pendekatan) seharusnya jadi fase eksplorasi: mengenal karakter, nilai, visi hidup, bahkan pola pikir seseorang. Namun sering kali, alih-alih mengamati dan menganalisis, kita malah sibuk membayangkan: cocoknya nikah di mana, anak berapa, rumah di pinggiran kota atau apartemen tengah kota. Singkatnya, kita sudah 'lari' jauh sebelum hubungan punya kaki.

Kenapa Kita Mudah Baper dan Geer?

Baper (terbawa perasaan) dan geer (gede rasa alias kegeeran) sebenarnya adalah bentuk respons emosional yang wajar. Kita adalah makhluk sosial yang ingin disukai, diterima, dan dicintai. Masalahnya muncul saat kita gagal membedakan mana perhatian yang tulus dan mana yang cuma "ramah ke semua orang".

Psikologi menyebut ini sebagai "confirmation bias", saat kita terlalu ingin sesuatu, kita cenderung hanya memerhatikan bukti-bukti yang menguatkan keinginan itu, dan mengabaikan sinyal sebaliknya. Ketika seseorang sering chat duluan, membalas story, atau berkata "aku nyaman ngobrol sama kamu", kita langsung membaca itu sebagai tanda cinta. Padahal bisa jadi, ia hanya menikmati obrolan ringan tanpa niat lebih.

Belajar Membaca Tanpa Terlalu Menafsir

Menjaga keseimbangan emosi saat PDKT bukan berarti jadi dingin atau tidak antusias. Tapi, ini tentang melatih diri agar tetap jernih melihat situasi. Tanyakan pada diri sendiri:

  • Apakah dia menunjukkan konsistensi dalam perhatian, bukan sekadar impulsif?
  • Apakah komunikasi hanya berlangsung saat dia butuh teman curhat?
  • Apakah dia mengenalkan kamu ke lingkaran sosialnya, atau semuanya serba sembunyi?

Dengan mengamati secara objektif, kita tak mudah tenggelam dalam interpretasi sepihak.

Emosi Boleh, Tapi Jangan Dikuasai

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline