Lihat ke Halaman Asli

Rifky Al Batawi

Analis Kebijakan

Menakar Masa Depan SKB di Tengah Kebijakan Pendidikan Nasional: Antara Potensi Sekolah Rakyat dan Redefinisi Peran Pamong Belajar

Diperbarui: 2 Mei 2025   16:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://uptdskbmojoagung.wordpress.com/2016/04/25/selayang-pandang-uptd-skb-mojoagung/

Sanggar Kegiatan Belajar, dulu dan kini

Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) adalah representasi konkret kehadiran negara dalam ranah pendidikan masyarakat. Secara etimologis, 'sanggar' sebagai ruang berkumpul mengisyaratkan esensi SKB sebagai wadah dinamis bagi beragam aktivitas, yang salah satunya adalah pembelajaran sepanjang hayat bagi masyarakat. Pada masa lampau, SKB menjelma menjadi jantung pendidikan nonformal, hadir untuk merespons secara langsung kebutuhan belajar yang beragam di tengah masyarakat. Di garda terdepan institusi ini berdiri Pamong Belajar, sosok pendidik yang melampaui sekat jenjang dan jalur pendidikan formal. Tugas dan fungsi utama Pamong Belajar kala itu adalah pionir dalam mengidentifikasi denyut kebutuhan belajar masyarakat, arsitek yang merancang model pembelajaran yang kontekstual dan relevan, serta fasilitator yang memberdayakan potensi belajar tanpa batas usia maupun tingkatan pendidikan. Singkatnya, SKB adalah manifestasi ideal sebuah institusi pendidikan yang adaptif dan berorientasi pada kebutuhan riil masyarakat. Namun, transformasi SKB meskipun bertujuan untuk formalisasi dan pengakuan, membawa konsekuensi yang signifikan. Fokus SKB kini cenderung terfragmentasi, mengerucut pada penyelenggaraan pendidikan nonformal yang terstruktur, terutama Pendidikan Kesetaraan. Sementara itu, semangat awal SKB sebagai payung bagi segenap inisiatif pembelajaran dan pemenuhan kebutuhan pendidikan nonformal yang lebih luas di masyarakat-yang dulu dijiwai oleh fleksibilitas dan responsivitas-terancam kehilangan rohnya. Prinsip 'dari, oleh, dan untuk masyarakat' yang menjadi landasan gerak SKB di masa lalu, kini berpotensi tergerus oleh formalitas dan keterbatasan program yang terstandarisasi.

Sekolah Rakyat "Meminjam" Ruang: Secercah Harapan atau Justru Memperdalam Luka SKB?

Di tengah kondisi SKB yang seringkali terabaikan dalam arus utama kebijakan pendidikan, muncul gagasan Sekolah Rakyat sebagai sebuah inisiatif -yang cukup baik sebetulnya-, untuk warga miskin melalui pendidikan berasrama gratis. Sebuah langkah pragmatis yang tak terhindarkan adalah melirik aset pemerintah yang sudah tersedia, dan dalam konteks ini, gedung-gedung SKB di berbagai daerah potensial menjadi pilihan lokasi transisi. https://kabartasikmalaya.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-3259229094/sekolah-rakyat-segera-didirikan-di-kota-tasikmalaya-bulan-juni-ini-gedung-skb-jadi-tempat-transisi

Sekilas, pemanfaatan SKB untuk Sekolah Rakyat ok ok saja. Gedung-gedung yang mungkin selama ini kurang termanfaatkan secara optimal berpotensi menjadi tempat belajar yang kondusif. Namun, logika pemanfaatan aset SKB untuk Sekolah Rakyat menjadi sangat problematis jika kita menilik sejarah pembangunan dan peruntukan SKB itu sendiri. Sebagian besar infrastruktur SKB di daerah dibangun melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik yang secara spesifik dialokasikan untuk penyelenggaraan Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI). Pemerintah daerah, dalam hal ini, seolah-olah "dititipkan" aset berupa lahan dan bangunan dengan amanah yang jelas untuk mengembangkan program dan layanan pendidikan nonformal bagi masyarakat luas. Bagaimana mungkin, aset yang dibangun dengan tujuan memberdayakan masyarakat melalui jalur pendidikan nonformal justru dialihkan penggunaannya untuk Sekolah Rakyat, yang secara prinsip adalah pendidikan formal? Langkah ini bukan lagi sekadar "solusi cepat", melainkan berpotensi menjadi bentuk pengingkaran terhadap amanah penggunaan DAK Fisik dan mengabaikan tujuan awal pembangunan SKB. Alih-alih menciptakan "sinergi program", pemindahan fungsi gedung SKB untuk Sekolah Rakyat justru berisiko besar mendisrupsi layanan pendidikan kesetaraan dan program-program nonformal lainnya yang selama ini berjalan. Ruang belajar, fasilitas pelatihan, dan sumber daya yang seharusnya diperuntukkan bagi peserta didik PNFI terancam dialihkan untuk kebutuhan Sekolah Rakyat. Hal ini dapat memperlemah eksistensi SKB sebagai SPNF dan menghilangkan wadah penting bagi pemenuhan kebutuhan belajar yang beragam di luar jalur formal. https://jombangbanget.jawapos.com/pendidikan/2135909740/skb-mojoagung-jadi-gedung-sementara-sekolah-rakyat-di-jombang-segini-jumlah-ruang-kelas-untuk-kbm#google_vignette

Alih Fungsi Pamong Belajar: Mempertanyakan Eksistensi Pendidik Nonformal di Era "Pendidik Formal dan Nonformal Adalah Guru"?

Di tengah tantangan minimnya perhatian terhadap SKB dan potensi disrupsi layanannya akibat gagasan Sekolah Rakyat, muncul kebijakan PermenPANRB Nomor 21 Tahun 2024 yang secara fundamental mengubah lanskap jabatan fungsional di bidang pendidikan. Penghapusan jabatan fungsional Pamong Belajar dan alih fungsinya menjadi Jabatan Fungsional Guru dengan penugasan di jalur pendidikan nonformal menimbulkan pertanyaan mendasar tentang eksistensi dan peran pendidik nonformal yang sesungguhnya di era "Pendidik Formal atau Nonformal adalah Guru" ini.

Secara normatif, transisi ini mungkin dilihat sebagai upaya untuk meningkatkan status dan kesejahteraan para Pamong Belajar melalui potensi tunjangan profesi dan kesetaraan dengan guru formal. Kewajiban sertifikasi pendidik juga dapat diartikan sebagai langkah untuk menstandarisasi kualitas pendidik di semua jalur pendidikan. Namun, jika kita telaah lebih dalam, kebijakan ini berpotensi menggerus kekhasan dan keunikan peran Pamong Belajar yang selama ini menjadi motor penggerak pendidikan nonformal dengan prinsip "dari, oleh, dan untuk masyarakat." Pamong Belajar tidak hanya sekadar "mengajar"; mereka adalah identifikator kebutuhan belajar masyarakat, pengembang kurikulum kontekstual, fasilitator pembelajaran yang fleksibel dan partisipatif, pemberdaya masyarakat, dan jembatan antara kebutuhan belajar individu dengan sumber daya komunitas. Dengan beralih status menjadi "Guru" meskipun ditugaskan di jalur nonformal, apakah ruh dan fungsi-fungsi esensial ini akan tetap terjaga? Apakah sistem sertifikasi guru formal akan mampu mengakomodasi kompetensi unik yang dimiliki Pamong Belajar dalam memahami dinamika sosial, memberdayakan kelompok marginal, dan mengembangkan program-program yang responsif terhadap kebutuhan lokal yang seringkali tidak terstruktur? Alih fungsi ini juga berpotensi menimbulkan kekosongan peran dalam hal pengembangan model pembelajaran nonformal yang inovatif, pengkajian kebutuhan belajar masyarakat yang mendalam, dan penguatan jejaring dengan komunitas lokal. Jika fokus utama pendidik nonformal beralih menjadi pemenuhan standar sertifikasi guru formal dan rutinitas mengajar yang terstruktur, siapa yang akan meneruskan tradisi Pamong Belajar sebagai agen perubahan dan inovator dalam pendidikan masyarakat?

Mempertahankan Nadi Pendidikan Masyarakat: Strategi Bertahan SKB dari Kepungan Kebijakan Mainstream

Gelaran Hari Pendidikan Nasional yang seharusnya menjadi panggung perayaan kemajuan, kita justru dihadapkan pada ironi yang menggelitik benak. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), yang selama ini setia menemani denyut nadi pendidikan masyarakat di luar jalur formal dengan prinsip "dari, oleh, dan untuk masyarakat," kini terancam menjadi sekadar "terminal transit" untuk memenuhi gagasan Sekolah Rakyat, sebuah gagasan yang datang bak pangeran berkuda namun berpotensi menggusur penghuni lama. Lebih jauh lagi, para Pamong Belajar, yang dulunya lincah menari sebagai koreografer pembelajaran komunitas, kini dipaksa mengenakan seragam "guru" yang mungkin terlalu kaku untuk gerakan mereka yang dinamis.

Semoga saja, di tengah retorika "partisipasi semesta" yang digaungkan, partisipasi untuk belajar di jalur nonformal dan partisipasi bagi SKB untuk terus melayani tidak ikut "terpinggirkan dalam bingkai foto kesuksesan pendidikan formal". Jika tidak, Hari Pendidikan Nasional hanya akan menjadi seremoni tahunan yang hampa makna bagi jutaan anak bangsa yang memilih jalur belajar yang berbeda, di sanggar-sanggar yang mungkin sebentar lagi hanya tinggal kenangan.

Selamat Hari Pendidikan (yang terstruktur dan berjenjang) Nasional

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline