Lihat ke Halaman Asli

Rendinta Delasnov Tarigan

Praktisi Perpajakan

Tentang Olahraga Kekinian: Saat Keringat Butuh Terlihat

Diperbarui: 13 Juli 2025   05:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar raket padel (sumber: iStock/JORGE MARTINEZ)

Setiap zaman punya olahraga ataupun aktivitas sosial kekiniannya. Di era 90-an, kita mengenal adanya "gerobak sodor", "gerobak dorong", "ular naga", "bentengan" dan sebagainya. Aktivitas ini bukan hanya membuat badan bergerak, tapi juga merekatkan komunitas. Seiring waktu, permainan ini digantikan oleh kegiatan yang lebih "dewasa" dan terorganisir, yakni, futsal, badminton, komunitas lari, hingga komunitas sepeda. Kini, sebuah olahraga baru masuk ke lanskap urban Indonesia: Padel. Olahraga ini menggunakan raket khusus dan dimainkan dalam arena tertutup. Olahraga ini diperkenalkan pertama kali oleh Enrique Corcuera di Meksiko pada tahun 1969, lalu berkembang menjadi fenomena internasional. Di kota-kota besar Indonesia, padel bukan hanya menjadi tren kebugaran, ia menjelma sebagai simbol gaya hidup yang sedang "naik kelas".

 

Saat olahraga yang dulu hadir dari kebutuhan untuk bergerak bersama, kini ia berubah wujud menjadi pertunjukkan sosial. Fenomena Padel ini mempertontonkan bukan hanya teknis permainannya, tetapi juga siapa yang memainkannya, siapa yang melihat, dan siapa yang ingin ikut meski belum tahu aturan mainnya. Tulisan ini pun ingin mengupas satu sisi dari fenomena fear of missing out atau FOMO yang membungkus aktivitas fisik dalam lapisan eksistensial: keringat yang harus terlihat, bukan hanya dirasakan.

 

Inilah yang mungkin membuat padel bukan sekadar olahraga. Dalam sepekan, kita mungkin dapat melihat story atau reels "friends" kita di media sosial dengan bertemakan Padel, mulai dari raketnya, sepatu barunya, ataupun sekadar "lagi nunggu giliran main padel." Olahraga ini memang dinamis. Namun, bukan hanya karena pantulan bola ke dinding, tapi juga karena laju penyebarannya di media sosial yang didorong oleh algoritma, estetika, serta oleh rasa yang ingin hadir di benak orang lain.

 

Tidak dapat dipungkiri, media sosial kini menjadi arena perluasan identitas. Goffman, dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life, menyebut bahwa manusia cenderung menampilkan "diri" di panggung sosial. Ntah itu di warung kopi, di kantor, atau di media sosial, seperti Facebook, Instagram, maupun TikTok, kita semua memainkan peran. Dalam konteks ini, bermain Padel mungkin saja bukan lagi soal olahraga semata, tapi juga soal performance--ini bukan saja soal diri, tapi juga menjadi bagian dari sesuatu yang sedang "in", apa yang sedang ramai dibincangkan di dunia maya.

 

Sianne Ngai, dalam bukunya Ugly Feelings, menyebut bahwa kita hidup di era kapitalisme estetik. Era ini merupakan periode dimana nilai suatu aktivitas, baik itu aktivitas olahraga ataupun kegiatan sosial lainnya, ditentukan bukan hanya oleh dampaknya, tetapi juga oleh tampilannya. Estetika menjadi nilai tukar komplementer. Olahraga seperti Padel menjadi representasi yang ideal hal ini: visual raket yang chic, lapangan yang terang dan busana sporty yang kasual tapi berkelas. Semuanya ini sangat disayangkan untuk dilewatkan menjadi sebuah postingan di Facebook, Instagram, ataupun TikTok. Dalam kapitalisme estetik, siapa yang tidak terlihat, kerap dianggap tidak benar-benar hadir.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline