Lihat ke Halaman Asli

Wacana Pendidikan dalam Karya-karya WS Rendra

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

WS Rendra

“Kaum ekstrimis sebenarnya terpisah dari masalah masyarakat umum. Seandaikan berkuasa, mereka pun akan tetap ekstrim dan akan tetap terpisah dari masalah masyarakatnya. Sebelum menang mereka bernama gerilyawan, sesudah menang mereka akan menjadi diktator.” YOSE KAROSTA – Mastodon dan Burung Kondor (WS RENDRA 1972). [caption id="" align="alignleft" width="228" caption="WS Rendra"][/caption] Sebagai seniman, WS Rendra tidak mengambil jarak terhadap kebudayaan dalam sikap dingin yang ketat sebagai seorang peneliti, melainkan secara sadar ikut memberi bentuk kepada kebudayaan itu.[1]

Lekatnya karya-karya Rendra dengan permasalahan sosial adalah pengejewantahan sikap dan semangat keseniannya menanggapi keadaan zaman. Semangat ini dalam membekas pada lirik puisi-puisinya;

“Apalah artinya renda-renda kesenian

bila terpisah dari derita lingkungan

Apalah artinya berpikir

bila terpisah dari masalah kehidupan”[2]

Sikap dan semangat ini membawanya ke dalam penjelajahan kognitif, afektif, bahkan motorik yang komprehensif pada eksplorasi keseniannya. Latar belakangnya dalam lingkungan tradisi serta persentuhannya dengan produk serta pemahaman kebudayaan barat menghasilkan perspektif yang unik dalam memandang kondisi sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Rendra dan Sikap terhadap Kekuasaan

Aspek kekuasaan dalam karya-karya Rendra berlatar waktu pada pemandangan wajah Indonesia dalam era Orde Baru yang gencar melakukan pembangunan di segala bidang. Dampak dari pembangunan itu seharusnya mengacu pada berbagai kepentingan rakyat, tetapi tidak sedikit ekses pembangunan justru secara sistematis merugikan rakyat. Seperti yang ditulisnya dalam puisinya berjudul Ciliwung yang Manis, penggambaran hidup orang pinggiran yang kontras dengan semangat pembangunan disinggung dengan alunan lirik yang keras, namun elegan;

“Ciliwung mengalir Dan menyindir gedung-gedung kota Jakarta Kerna tiada bagai kota yang papa itu Ia tahu siapa bundanya.”[3]

Rendra meletakan posisi keseniannya sebagai pembela kaum yang mengalami ketidakadilan. Sementara karnaval jargon-jargon pembangunan terus dicorongkan pemerintah, Rendra justru menyuarakan perlawanan lewat karya-karyanya—sebuah usaha untuk membongkar rahasia kekuasaan pihak penguasa yang sesungguhnya justru merugikan rakyat kecil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline