Setelah Saddam Husein: Irak Tidak Menjadi Lebih Baik, Malahan Lebih Rusak
Oleh: Ronald Sumual Pasir
Dua dekade telah berlalu sejak Saddam Husein digulingkan dalam invasi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003. Dunia pernah dibuat percaya bahwa tanpa Saddam, Irak akan menjadi negeri demokrasi yang maju, damai, dan sejahtera. Tapi sejarah berkata lain: Irak hari ini bukanlah negara yang pulih---melainkan negara yang setengah hancur, setengah dijajah, dan setengah tenggelam dalam konflik internal tak berujung.
Saddam Husein Jatuh, Tapi Irak Tak Pernah Bangkit
Ketika Amerika masuk ke Baghdad, rakyat Irak menyaksikan patung Saddam ditumbangkan. Tapi setelah itu, tidak ada tatanan baru yang kokoh. Rezim digulingkan, namun tidak ada negara yang dibangun.
Seluruh sistem keamanan, birokrasi, bahkan identitas nasional, runtuh bersamaan dengan jatuhnya Saddam. Ketika kekuasaan kosong, konflik sektarian langsung meledak---antara Sunni yang kehilangan kuasa, dan Syiah yang merasa berhak membalas dendam.
Demokrasi tidak bisa dipaksakan turun dari langit oleh bom-bom pintar. Ia harus lahir dari akar rakyat, bukan dari laras senjata.
Dari Demokrasi Palsu ke Kebangkitan ISIS
Pasca-Saddam, Irak menggelar pemilu, membentuk parlemen, dan memiliki presiden serta perdana menteri. Namun sistem ini bukan demokrasi sejati, melainkan panggung pertarungan elite sektarian dan kelompok milisi.
Ketidakadilan politik dan represi terhadap Sunni memunculkan gerakan bawah tanah yang brutal. Lalu muncullah ISIS, yang mengambil keuntungan dari kekosongan kekuasaan dan kekecewaan rakyat.
Pada 2014, ISIS menguasai Mosul dan sepertiga wilayah Irak---memaksa negara ini perang saudara dalam negeri sendiri.