Konstitusi sebagai fondasi tertinggi dalam sistem ketatanegaraan seharusnya menjadi rujukan utama dalam setiap pengambilan keputusan politik. Namun, dinamika terbaru antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperlihatkan kecenderungan yang mengkhawatirkan: ketegangan antara dua lembaga negara yang seharusnya saling menguatkan kini justru tampak saling menegasikan.
Puncak dari ketegangan ini mencuat setelah MK memutuskan pemisahan antara pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029. Putusan tersebut memicu reaksi keras dari sejumlah partai politik di DPR yang menilai MK telah keluar dari kewenangannya dan terlalu dalam mencampuri ranah kebijakan legislatif.
Reaksi tersebut mencerminkan adanya tarik menarik antara kepentingan jangka pendek politik praktis dan kehendak untuk menata ulang sistem demokrasi secara lebih berkelanjutan. DPR menuding MK melakukan judicial activism, sementara MK berdalih putusannya adalah bagian dari koreksi konstitusional untuk memperbaiki efektivitas dan kualitas demokrasi elektoral.
Konflik ini menyulut diskursus publik tentang batasan antara kekuasaan yudikatif dan legislatif dalam sistem presidensial. Padahal, sebagaimana disebutkan oleh Jimly Asshiddiqie (2022), relasi antar-lembaga negara dalam sistem presidensial harus tunduk pada prinsip checks and balances, bukan dominasi.
Ketegangan ini menambah daftar panjang kasus-kasus ketika putusan MK ditentang atau diabaikan oleh DPR. Hal ini bukan hanya melemahkan peran konstitusi sebagai panglima tertinggi, tetapi juga memberi sinyal buruk bagi praktik demokrasi konstitusional di Indonesia.
Sejumlah pengamat menilai bahwa DPR menunjukkan resistensi terhadap segala bentuk koreksi yang mengancam status quo kekuasaan. Seperti dikatakan oleh Refly Harun, resistensi ini bukan hanya persoalan legalitas, tapi lebih kepada psikologi kekuasaan yang enggan dikoreksi.
Menariknya, dalam survei LSI (2024), publik justru menaruh kepercayaan lebih tinggi kepada lembaga yudikatif dibandingkan legislatif, dengan angka kepercayaan MK sebesar 62% dan DPR hanya 39%. Ini memperlihatkan bahwa persepsi publik mendukung koreksi kelembagaan yang berbasis hukum, bukan kompromi politik.
Jika dikaji lebih dalam, akar dari ketegangan ini tak lepas dari belum stabilnya praktik demokrasi deliberatif di Indonesia. Proses legislasi sering kali lebih berorientasi pada kompromi elite daripada dialog substansial berbasis data dan kebutuhan publik.
Putusan MK tentang pemisahan pemilu, meskipun kontroversial, sesungguhnya mengandung logika hukum yang kuat. Putusan ini merespons kelelahan administratif dan politis akibat pemilu serentak, yang menurut banyak kajian (misalnya, penelitian Perludem 2020), menyebabkan tekanan tinggi bagi penyelenggara dan pemilih.
Namun, alih-alih membahas dampak dan solusi, DPR lebih memilih membangun narasi resistensi. Beberapa bahkan menggulirkan wacana amandemen untuk membatasi kewenangan MK. Ini mengindikasikan adanya upaya mengintervensi lembaga yudikatif yang independen.
Demokrasi akan kehilangan maknanya jika lembaga legislatif mulai merasa dirinya lebih tinggi dari konstitusi. Hal ini mengembalikan kita pada perdebatan lama tentang supremasi parlemen versus supremasi konstitusi.