Ketika Presiden Prabowo berpidato dengan penuh energi di panggung Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 di New York, Amerika Serikat (23/9/2025), sesungguhnya ia bukan sekadar mengulangi mantra diplomasi Indonesia "bebas aktif" lama.
Di hadapan khalayak pemimpin dunia dan media global, ia memilih memainkan narasi yang ambisius sekaligus penuh ketegangan, antara kepemimpinan moral dan keterbatasan struktural.
Prabowo menegaskan peran strategis Indonesia dalam arsitektur geopolitik global yang tengah menghadapi beragam tantangan besar, mulai dari ketegangan internasional, krisis pangan dan energi, hingga konflik berkepanjangan.
Tema besar pidatonya adalah "Seruan Indonesia untuk Harapan" yang menyatukan solidaritas kemanusiaan, keadilan global, dan reformasi sistem internasional..
Menempatkan Indonesia sebagai "Suara Kemanusiaan"
Salah satu pilar utama dalam pidato Prabowo adalah penekanan pada kesetaraan manusia, hak asasi, dan solidaritas universal. Ia membuka pidatonya dengan menyatakan bahwa:
"Kita berbeda ras, agama, dan kebangsaan, namun kita berkumpul sebagai satu keluarga manusia" dan mengutip "semua manusia diciptakan setara" dari Deklarasi Universal HAM (1948).
Pernyataan ini bukan isi retoris kosong: ia berfungsi sebagai landasan legitimasi global bahwa Indonesia---negara menengah besar---menempati posisi moral dalam sistem internasional.
Tegas ia menyatakan bahwa keheningan dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina adalah kegagalan moral. "Hari ini kita tidak boleh diam," tegasnya.
Ayat ini menegaskan bahwa posisi Indonesia bukan berada di pinggir, melainkan di garis depan retorika kemanusiaan.