Hati saya langsung bungah sewaktu membaca berita di Kompas (5/5/2025) dengan tajuk judul spektakuler "Indonesia Nomor Satu Negara Paling Sejahtera, Ungguli Jepang dan AS". Bravo! Namun, akal saya mulai bertanya, "Bagaimana bisa demikian?".
Pertanyaan skeptis tersebut murni karena penasaran-akademik, tidak ada niat dan motivasi lainnya. Pun, bukan soal nir-nasionalisme.
Penobatan Indonesia sebagai negara paling sejahtera di dunia oleh Global Flourishing Study (GFS) yang digawangi Harvard University, Baylor University, dan International Polling Agency Gallup, sontak menjadi perbincangan luas.
Kompas menulis bahwa penelitian yang dipimpin oleh Harvard University tersebut dilakukan terhadap lebih dari 200.000 responden dari 22 negara di enam benua yang merepresentasikan 64 persen populasi dunia.
Hasilnya? Skor Indonesia yang melampaui Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang, seolah menjadi "tamparan" bagi negara-negara maju.
Namun, benarkah Indonesia layak menyandang predikat ini jika ditilik dari realitas ekonomi dan sosial saat ini? Ya dan Tidak. Jawabannya akan tergantung dari apa pendekatan yang digunakan oleh para peneliti. Keduanya memiliki basis teoritik dan mazhab-nya masing-masing.
Situasi ini mirip dengan hasil survei 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran yang lalu, antara kutub Litbang Kompas di satu sisi, dan kutub Celios di sisi yang lainnya.
Artikel ini akan mengupas secara kritis laporan GFS tersebut, bagaimana metode penelitiannya, membandingkannya dengan kondisi ekonomi Indonesia secara faktual, serta menelaahnya melalui pendekatan teoritik dan jurnal ilmiah.
Apa Itu "Flourishing" versi GFS?
Harus dipahami bahwa Global Flourishing Study tidak sekadar mengukur kesejahteraan dari aspek ekonomi atau kebahagiaan konvensional.