Lihat ke Halaman Asli

Tino Rahardian

TERVERIFIKASI

Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Obituarium Paus Fransiskus, Sang Gembala Pembela Kemanusiaan di Pusaran Konflik Israel-Palestina

Diperbarui: 21 April 2025   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paus Fransiskus bersama Imam Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, saat berkunjung ke Indonesia. (Foto: Kompas.com)

"Tuhan tidak lelah mengampuni; kitalah yang lelah meminta maaf."-Paus Fransiskus, Misericordiae Vultus (2015).

Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia yang lahir dari rahim Amerika Selatan, menghembuskan napas terakhirnya pada pagi 21 April 2025, meninggalkan jejak spiritual yang dalam di tengah konflik kemanusiaan global.

Kematiannya pada pukul 07.35 waktu Roma bukan hanya akhir dari kepemimpinan seorang tokoh religius, tetapi juga penutup babak perlawanan terhadap ketidakadilan--khususnya dalam konflik Israel-Palestina yang telah menelan puluhan ribu nyawa.

Sebagai paus pertama dari Dunia Ketiga, Fransiskus tidak hanya mereformasi wajah Vatikan, tetapi juga menjadi suara bagi kaum miskin, migran, dan lingkungan hidup--sebuah komitmen yang menggetarkan kekuasaan sekaligus menginspirasi gerakan keadilan global.

Ia meninggal di Vatikan, dikelilingi oleh doa umat dari berbagai penjuru dunia, termasuk mereka yang tertindas dan tercerabut dari hak-haknya--seperti rakyat Palestina, yang selama ini ia bela dengan suara kenabiannya.

Spiritualitas Kerendahan Hati dan Perlawanan terhadap Ketimpangan

Lahir sebagai Jorge Mario Bergoglio (17 Desember 1936), ia memilih jalan pelayanan sebagai Jesuit sebelum terpilih sebagai Paus pertama dari Ordo tersebut pada 2013.

Kepemimpinannya ditandai dengan kesederhanaan, keberpihakan pada kaum marginal, dan keberanian menyuarakan kritik terhadap kekuasaan yang lalim.

Paus Fransiskus mengabdikan hidupnya pada prinsip "Gereja yang miskin untuk orang miskin", sebuah paradigma yang mengacu pada Teologi Pembebasan (Gutierrez, 1971) dan tradisi Ignatian.

Dalam konteks Indonesia, pemikirannya selaras dengan kritik struktural terhadap neoliberalisme, seperti yang dielaborasi oleh Arief Budiman (1995) dalam Teori Pembangunan Dunia Ketiga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline