Lihat ke Halaman Asli

Mbah Priyo

Engineer Kerasukan Filsafat

Teman Seperjalanan

Diperbarui: 17 Agustus 2025   09:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bis malam sepi - kreasi AI

Dua malam lalu aku memutuskan pulang ke Jakarta, long weekend hari kemerdekaan akan kuhabiskan di Jakarta bersama anak-istriku.  Bus dari Terminal Tirtonadi melaju perlahan, meninggalkan kota Solo menuju Jakarta. Jalanan kota masih ramai dengan kendaraan yang berseliweran, lampu-lampu toko yang mulai meredup, dan aroma bensin yang khas dari kendaraan yang berlalu-lalang. Di dalam bus, suasana agak hening; beberapa penumpang terlelap, ada yang asyik dengan layar ponselnya, sementara aku duduk di dekat jendela, menatap jalan yang melintas.

Di sebelahku, ada seorang wanita paruh baya yang tampak lelah. Matanya menatap jauh ke luar jendela, seakan mencoba membaca cerita dari setiap rumah dan pepohonan yang bergeser pelan di malam hari. Wajahnya penuh kelelahan dan kesepian, namun ada ketenangan yang aneh, seolah dia sudah belajar menerima beban hidup yang tak bisa disembunyikan. Guratan halus di wajahnya menceritakan tahun-tahun yang penuh pengalaman, dan di balik kelelahan itu tersimpan kecantikan yang tak biasa—wajahnya masih memancarkan aura yang kuat, sementara tubuhnya terlihat berisi dan terawat, menunjukkan bahwa ia tetap menjaga diri meski perjalanan hidupnya tidak selalu mudah.

Bus terus melaju, lampu jalan yang berkedip-kedip memantul di kaca jendela, menciptakan bayangan yang menari di wajahnya. Dalam keheningan itu, kami berdua duduk berdampingan, masing-masing tenggelam dalam dunia sendiri—aku dengan pikiranku yang melayang, dia dengan pandangannya yang dalam dan penuh cerita yang tak terucapkan. Ada semacam keakraban sunyi antara kami, yang hanya bisa lahir dari perjalanan panjang dan malam yang tenang di atas roda bus.

Tak lama, aku merasa ada yang mengganjal, lalu perlahan aku membuka obrolan. "Halo, Bu. Lagi perjalanan jauh ya?"

Wanita itu menoleh, tersenyum pelan, seakan menahan lelah. "Iya, nak. Perjalanan pulang ke Jakarta. Sendiri aja lagi. Saya habis menengok kedua anak saya yang sekolah di Solo. Yang nomor satu sudah skripsi, sementara adiknya baru masuk tahun ini." Ia menghela napas tipis, matanya menatap jauh ke luar jendela kereta. "Capek juga rasanya. Baru kemarin sampai, sekarang malam ini harus kembali."

Aku menatap wajahnya, mencoba menyelami lelah yang tersirat di rautnya. "Pasti berat ya, Bu… perjalanan bolak-balik begitu," ucapku sambil tersenyum menenangkan.

Wanita itu mengangguk. "Iya, tapi senang juga melihat mereka. Meski cuma sebentar, momen itu selalu berharga. Anak-anak tumbuh begitu cepat, nak. Kadang rasanya ingin waktu berhenti sebentar, biar bisa menikmati semua ini tanpa terburu-buru."

Aku tersenyum, merasakan kehangatan yang terselip di balik kelelahan itu. Suasana di bus menjadi lebih tenang, suara roda yang berderak di aspal seolah ikut menenangkan perjalanan panjang ini.

Lantas aku bertanya, sedikit ragu, “Kok suaminya nggak ikut? Apakah sedang sibuk?”

Ia menghela napas panjang, matanya menatap ke luar jendela, menatap pemandangan yang melintas cepat. Ada kilau basah di sudut matanya, yang perlahan menetes, tapi senyumnya tetap tipis, seperti menahan diri agar tak runtuh. “Suami saya… sudah meninggal dua tahun lalu,” ucapnya pelan, suaranya nyaris hanyut di antara derak roda bus.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline