Pernah aku berkhayal, suatu saat nanti aku akan ke Jepang dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri gadis-gadis muda berpakaian pelaut dengan rok yang jauh di atas lutut. Nyatanya, kali pertama aku melihat gadis Jepang justru ketika aku liburan ke Bali. Gadis-gadis itu sedang menikmati pantai yang sama denganku, memakai bikini berwarna cerah yang kepayahan menutupi payudara mereka yang menonjol, dan mendadak bayangan adegan demi adegan film dewasa Jepang yang selalu kutonton diam-diam berkelebat di kepalaku.
Aku menyadari hal di atas terjadi hampir sepuluh tahun silam, dan selama itu pula aku masih menyimpan harapanku dalam-dalam. Jepang masih menjadi tujuan yang terasa amat jauh bagiku. Aku bahkan belum pernah keluar negeri, meski aku memiliki paspor yang masa berlakunya tersisa 2 bulan lagi. Paspor yang menampakkan foto pipiku yang belum bertelur itu memiliki tatapan yang meledek karena aku malah berkawan dengan kolesterol dalam beberapa tahun terakhir.
Tentu dua paragraf di atas tak pernah kuungkapkan kepada Akina. Ia akan memanggilku cowok mesum kalau sampai tahu aku demikian. Meski sebenarnya aku tak berkeberatan disebut mesum, karena mesum itu bukan dosa. Mesum boleh-boleh saja, goblok yang jangan. Itu prinsipku.
"Aku sering membaca Murakami..." kumulai pembicaraan dalam bahasa Inggris yang pas-pasan.
"Murakami?"
"Haruki Murakami," jelasku. "Kalau Ryu Murakami, aku baru baca 2 judul, Coin Locker Babies dan In The Miso Soup. Kamu baca juga?"
"Aku baca Haruki, Ryu belum pernah. Wow, aku tidak menyangka kamu membaca mereka berdua."
"Aku juga banyak membaca yang lain, seperti Akutagawa, Natsuo Kirino, dan tentu saja komik-komik Jepang. Kamu suka baca komik nggak?"
"Tentu, tentu... kamu lagi baca apa?"
"Shingeki No Kyojin... aku suka sekali. Menonton para raksasa memangsa manusia, dan manusia berusaha bertahan hidup dan membasmi para raksasa itu membuatku berpikir ulang mengenai kemanusiaan. Aku juga baca One Punch Man, sebuah komik satir yang menyinggung tokoh-tokoh Shonen."
"Aku sebagai Jepang jadi minder bicara dengan kamu. Sepertinya kamu tahu jauh lebih banyak tentang itu daripada aku...."
Tentu saja, Akina. Aku harus tampak mengagumkan dan berpengetahuan di hadapanmu. Dengan begitu, kamu baru akan memperhatikan aku, bukan?
Para pembaca sekalian pasti bertanya-tanya di mana dan bagaimana aku bertemu Akina, bagaimana perawakan Akina, atau ciri khas yang mungkin dia miliki. Dialog di atas terlalu tiba-tiba untuk pembukaan cerita sehingga menuduhku hanya seorang penulis amatir yang picisan yang setiap hari hanya bisa melamun.
Pelan-pelan dong! Lagian tidak ada salahnya juga melamun. Melamunnya seorang penulis berbeda dengan melamunnya orang biasa sama halnya tak dapat kalian samakan dengan melamunnya ilmuwan. Einstein juga hobinya melamun, dan dalam sebuah lamunannya, ia tak mempercayai adanya gravitasi. Fisika menyaratkan ada aksi, ada reaksi. Benda bergerak karena ada gaya dorong, bukan gaya tarik. Jika ada gaya tarik, maka harus ada exit door energi pada suatu tempat. Pada itu, Einstein berpendapat, gaya tarik itu tidak ada. Alam semesta (ruang dan waktu) ini melengkung sehingga planet-planet mengeliling matahari, sama sekali bukan karena gaya tarik matahari.
Akina juga mungkin sebenarnya tidak memiliki gaya tarik. Akulah yang terkena gaya dorong sesuatu bernama hasrat ketika kudengar suaranya yang nyaring, aku malah membayangkan bagaimana caranya dia mendesah. Matanya tentu sipit, giginya tak rata, pipinya juga bulat dan kalau ia merasa malu atau kepanasan, pipi itu akan bersemu merah. Keterbatasan bahasa membuat dia sering melongo bila ia menemukan kalimat yang tak ia mengerti dari anak-anak yang mengerumuninya. Akina tampak disukai anak-anak, dan tentu saja sebagian besar anak lelaki. Aku yakin anak-anak lelaki itu sudah nonton film dewasa Jepang.
Kami bertemu dalam sebuah program residensi penulis-penulis ASEAN. Jepang tentu saja bukan ASEAN. Jepang hanyalah negara yang pernah menjajah beberapa negara di kasawan Asia Tenggara dan mungkin karena merasa bersalah, mereka rajin berkomunikasi dengan mereka. Termasuk dalam acara ini, Jepang menjadi salah satu sponsor. Dan Akina, seorang editor dan penulis buku-buku literatur pelajaran Bahasa Inggris, mewakili mereka.
Sejujurnya, hampir sebagian hariku di rumah residensi kuhabiskan dengan memperhatikan Akina. Dalam sebuah sesi diskusi tentang keberagaman dan marjinalitas, aku bertanya pada Akina, "Kamu membaca IQ84? Aku penasaran dengan maksud orang kecil dan fenomena aliran kepercayaan yang dipeluk sebagian masyarakat Jepang, yang entah kenapa ditulis Murakami: mereka berprofesi sebagai petani? Selain mim dengan Orwell, 1984, yang kupikir sebuah propaganda anti komunisme, apakah kelas-kelas pekerja di Jepang juga telah menjadi sebuah struktur manusia?"
"Saya belum membaca novel itu sih, tapi bagaimana ya aku menjelaskannya..."
Akina mulai mengucapkan beberapa hal. Tentu saja aku tidak peduli pada apa yang dia katakan. Aku hanya ingin mendengar suaranya, memperhatikan setiap ekspresi yang keluar dari wajahnya. Aku suka dia bermimik muka serius menanggapi pertanyaanku itu.