Lihat ke Halaman Asli

Poe Three

citizen of the world

Resep Kebahagiaan, Resensi Buku "Hector and The Search for Happiness" Karya Francois Lelord

Diperbarui: 1 Agustus 2020   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hector and the Search of Happiness | Francois Lelord | ISBN : 978--602--385--002-0 | Terjemahan Indonesia, 2015 | Penerbit PT Mizan Publika

Pencarian Kebahagiaan

Buku ini menarik karena saya sempat kesulitan menetapkan genre (versi saya) yang sesuai. Menurut saya, buku ini bukan semata-mata cerita fiksi, karena karakter utamanya, Hector, adalah manifestasi alter-ego dari sang penulis Francois Lelord, yang keduanya sama-sama berprofesi sebagai psikiater.

Pembaca akan berasumsi bahwa segala yang dialami oleh Hector didasari pengalaman si penulis Lelord sendiri. Ceritanya mengandung unsur humor, romance, sedikit action, juga menyerupai self-help.

Karakter Hector sendiri muncul dan dijadikan sosok utama dalam tulisannya ketika sang penulis sedang dalam perjalanan keliling dunia sebagai bagian dari pekerjannya, yakni meriset tentang kebahagiaan.

Hal ini dilakukan Hector karena sebagai psikiater dia sadar bahwa ketidakbahagiaan yang dialami oleh pasien-pasiennya bukan disebabkan oleh kelainan jiwa, atau sakit bawaan. Sebagian besar pasiennya malahan tidak punya alasan untuk tidak bahagia, jika kita menilai kebahagiaan dari kondisi hidup pasiennya yang berkecukupan, baik materi, karir, hingga keunggulan fisik dan penampilan pasiennya.

Meskipun demikian, kenyataannya mereka menjadi pasien Hector karena ketidakbahagiaan itu yang mereka rasakan. Hal ini kemudian membuat Hector (Lelord) berpikir, adakah resep kebahagiaan yang bisa dia berikan ke pasien-pasiennya?

Resep Kebahagiaan

Berikut beberapa hal yang menjadi favorit saya dari catatan Hector tentang resep kebahagiaan.

Kesalahan mendasar adalah mengartikan kebahagiaan sebagai hasil

Kebanyakan manusia memiliki target supaya bisa disebut bahagia, misalnya ketika seseorang berkata 'aku akan bahagia jika gajiku sudah 100 juta sebulan'. Namun kenyataannya, ketika kita memperolehnya kita akan terus membandingkan kondisi pekerjaan kita (termasuk harta dan kekuasaan) dengan orang yang gajinya 200 juta, 300 juta, dst. Kalau terus begitu, kapan akhirnya kita bisa disebut bahagia?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline