Lihat ke Halaman Asli

Pical Gadi

TERVERIFIKASI

Karyawan Swasta

[Cerpen] Ataturk

Diperbarui: 30 Juni 2016   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi gambar dari: www.slate.com

Beberapa lampu neon box padam tiba-tiba, membuat ruangan jadi semakin gelap. Tapi entah mengapa udara terlihat merah seperti tembaga. Mestinya saat ini terdengar jeritan panik atau tangisan histeris orang-orang, tapi… aku tidak dapat mendengarnya. Gendang telingaku masih menggemakan ledakan-ledakan dahysat yang baru saja terjadi beberapa helaan napas yang lalu.

 Oksigen seperti menipis, membuat paru-paruku harus bekerja lebih keras.

Aku pernah terperangkap di tengah-tengah kepungan pasukan pemberontak. Aku dan beberapa kawan  menembakkan isi senapan seperti orang kesetanan. Kami berjuang hanya untuk mengetahui kalau pertempuran itu nyaris jadi pertempuran terakhir kami. Rasanya malam ini peristiwa itu terjadi kembali. Sekat antara maut dan hidup jadi setipis helai rambut saat ini.

Aku menyeret kakiku yang hampir tak kurasakan lagi, menyusuri lantai bandara yang jadi kanvas maut dengan darah dan air mata sebagai cat dan kuasnya. Eternit berjatuhan dan bau mesiu memenuhi rongga penciuman. Mengingatkanku pada setiap detik yang kupertaruhkan di medan pertempuran dulu.

Seorang ibu menangis pilu sambil memeluk… jenazah anaknya, kurasa. Gadis berjaket merah. Matanya tertutup dalam-dalam, namun dari garis-garis wajahnya aku yakin dia pergi dalam kesakitan yang sangat.

Setelah itu aku melihat tubuh-tubuh bergelimang darah, terbujur kaku. Seorang bapak berbaju safari, dua orang remaja, seorang ibu yang mendekap kopornya, seorang lagi, sepertinya petugas bandara yang terhimpit besi metal detector.

Lalu seorang petugas yang lain dengan wajah menghitam, duduk sambil meneriaki HT-nya. Ah, aku mengenalnya.Yusuf, keponakan sepupuku. Beberapa saat yang lalu kami masih sempat bertegur sapa.

Aku pun memanggil namanya. Dia tidak mendengar. Ternyata seluruh telinga kirinya dipenuhi darah. Tapi aku bisa mendengar samar-samar dia meneriakkan sesuatu.

“Bom bunuh diri!”

Rupanya itu yang terjadi. Aku pun memejamkan mata dan berteriak kuat-kuat memaki langit-langit bandara. Air mataku mengalir tanpa bisa kutahan lagi. Entah apa yang membuatku menjadi begitu melankolis.

Putriku saat ini sedang menunggu di Paris. Ya, aku harus segera memberinya kabar bahwa…

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline