Lihat ke Halaman Asli

Adriansyah Abu Katili

Menginspirasi untuk menciptakan dunia dengan kata-kata.

Menjaga Marwah Negara dengan Tindak Tanduk Berbahasa

Diperbarui: 17 September 2025   15:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar seorang sedang berpidato. Dibuat dengan bantuan https://copilot.microsoft.com/Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Cara Berbahasa Menunjukkan Karaktermu", Klik untuk baca:https://www.kompasiana.com/penakata/6757ddc334777c6651294752/cara-berbahasa-menunjukkan-karaktermuKreator: Adriansyah Abu KatiliKompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.comInput Keterangan & Sumber Gambar (Contoh: Foto Langit Malam (Sumber: Freepik/Kredit Foto))

Akhir-akhir ini kita sering mendengar ucapan pejabat publik yang justru memperkeruh suasana. Mulai seorang menteri yang mengeluarkan statement masyarakat yang tidak mau bayar pajak supaya keluar dari Indonesia, pejabat yang membuat narasi bahwa pensiunan adalah beban APBN, dan masih banyak lagi. Bahkan ada ketua komisi di DPR yang mengeluarkan kata tolol terhadap rakyat yang menuntut pembubaran DPR. Sebelumnya ada pejabat yang menanggapi tagar Kabur aja dulu dengan kata yang sini Kabur aja, tak usah kembali. Alih-alih beradu argumen dengan argumen yang logis dan rasional. Ungkapan yang keluar malah sinis.

Kini masyarakat diributkan lagi dengan ungkapan menteri agama, Nasaruddin Umar. Ungkapan yang kini viral. Terlepas apakah ungkapan itu dipotong sehingga terkesan tidak utuh. Yang mengatakan bahwa kalau mau jadi kata tidak usah jadi guru, jadi pengusaha saja.

Di sini bahasa bukan lagi berperan sebagai media komunikasi, tapi media untuk menenangkan suasana atau memperkeruh suasana. Bukan lagi media menyampaikan pesan, tapi bisa menjadi pedang melukai rakyat.

Saya berusaha membahas ini dari sisi bahasa adalah alat kekuasaan. Ungkapan ini dapat ditemukan dalam buku-buku dengan topik analisis wacana kritis. Dalam analisis wacana kritis, dibahasa bagaimana bahasa berfungsi dalam kekuasaan. Maka ketika sebuah kata diucapkan oleh dua orang yang berbeda, maka akan berbeda dampaknya. Ketika sebuah ungkapan "Kalau mau jadi kaya, jangan jadi guru, jadi pedagang saja" diungkapkan oleh seorang pengusaha akan berbeda ketika diucapkan oleh seorang pejabat.

Ketika diucapkan seorang pengusaha, bisa dimaknai sebagai motivasi untuk lebih baik menjadi pengusaha. Seorang pedagang yang mempunyai penghasilan yang lebih dibanding seorang guru. Tapi ketika diucapkan seorang pejabat tinggi, maka itu dirasakan melukai pata guru. Bisa dibayangkan bila tidak ada yang mau jadi guru. Semua guru mengundurkan diri dan mulai menjadi pengusaha. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi.

Suasana akan lebih  sejuk bila diksi yang digunakan lebih santun. Misalnya, "Guru adalah pahlawan bangsa. Mereka bertahan dengan penghasilan yang tidak seberapa demi pendidikan anak bangsa. Semoga kelak penghasilannya bisa ditingkatkan."  Masyarakat yang sudah terluka dengan ucapan menteri keuangan tentang guru dan dosen, yang mau mengalihkan biaya kesejahteraan guru kepada masyarakat sehingga terkesan kementerian keuangan tidak mau melaksanakan tanggung jawab negara tentang pendidikan, kini terluka dengan diksi itu. Bukan pesannya yang melukai, tapi diksi yang digunakan yang menjadi masalah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline