Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan kebijakan strategis pemerintah yang diharapkan dapat menjadi penopang kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Program ini bertujuan meningkatkan pemenuhan gizi anak-anak, ibu hamil, dan kelompok rentan lainnya, sehingga dapat menurunkan angka malnutrisi dan stunting. Selain itu, MBG ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan kecerdasan generasi penerus, menciptakan generasi yang sehat dan produktif, serta mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui pemberdayaan UMKM dan petani. Namun demikian, di balik implementasi program ini, muncul permasalahan serius berupa kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di sejumlah daerah. Kasus-kasus tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana program ini telah menjamin aspek keamanan pangan.
Kasus yang Membunyikan Lonceng Peringatan
Sejumlah laporan keracunan massal pada siswa sekolah menunjukkan bahwa risiko keamanan pangan dalam program MBG nyata adanya.
- Di Sragen, Jawa Tengah, sekitar 365 siswa dan guru mengalami mual, pusing, dan diare setelah mengonsumsi makanan siang. Sebagian pasien memerlukan perawatan di rumah sakit.
- Di Bandung, Jawa Barat, 301 siswa mengalami gejala serupa, diduga akibat kelalaian dalam pengolahan makanan.
- Di PALI, Sumatera Selatan, 173 siswa mengalami keracunan, dengan dugaan penyimpanan bahan makanan yang tidak sesuai prosedur.
- Di Bogor, Jawa Barat, hasil laboratorium menunjukkan adanya kontaminasi bakteri E. coli dan Salmonella pada menu MBG.
- Di Cianjur, Jawa Barat, puluhan siswa MAN dan SMP menderita muntah dan diare. Kasus ini ditetapkan sebagai KLB oleh dinas kesehatan setempat.
- Di Kupang, NTT, lebih dari 140 siswa mengalami gejala serupa, meskipun kemudian dipastikan bukan berasal dari menu MBG, melainkan faktor lain.
Data ini menunjukkan bahwa pelaksanaan MBG masih memiliki celah besar pada aspek pengawasan dan surveilans keamanan pangan. Satu kesalahan dalam proses pengolahan dapat menimbulkan dampak kesehatan bagi ratusan anak dalam waktu singkat.
Retakan dalam Sistem Surveilans
Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terulangnya kasus keracunan makanan dalam MBG dapat diidentifikasi sebagai berikut:
- Kurangnya data pelaporan dan keterlambatan laporan kasus.
Sistem pelaporan kasus keracunan makanan belum efektif. Data sering terlambat masuk, sehingga pola kejadian sulit dipantau. Saat laporan diterima, sebagian besar siswa sudah dalam kondisi sakit dan memerlukan perawatan. Keterlambatan ini meningkatkan risiko penyebaran kasus baru.
- Kesulitan menentukan agen penyebab.
Sering kali sampel makanan tidak disimpan atau tidak ditangani dengan baik sehingga penyelidikan laboratorium tidak dapat memastikan agen penyebab. Padahal, identifikasi penyebab sangat penting untuk menentukan langkah intervensi yang tepat.
- Rantai produksi dan distribusi pangan yang rawan.
Proses produksi makanan MBG melalui rantai panjang mulai dari penggunaan pupuk, distribusi hasil pertanian, penyimpanan bahan makanan, hingga pengolahan di dapur sekolah. Setiap tahapan memiliki potensi kontaminasi, khususnya bila tidak diawasi secara ketat.
- Kurangnya edukasi higiene pangan di masyarakat.
Sebagian besar penyedia makanan belum memiliki pemahaman standar mengenai prinsip kebersihan pangan, seperti mencuci tangan, memisahkan bahan mentah dan matang, serta penyimpanan pada suhu aman. Kurangnya pengetahuan ini meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi.
- Manajemen KLB yang tidak efektif.
Respon terhadap kasus KLB keracunan makanan sering lambat akibat pedoman teknis yang tidak jelas, lemahnya koordinasi lintas sektor, serta birokrasi yang panjang. Status KLB sering baru ditetapkan setelah jumlah kasus meningkat signifikan.
- Keterbatasan SDM tenaga surveilans.
Jumlah dan kompetensi tenaga surveilans kesehatan di daerah masih terbatas. Petugas harus memantau wilayah luas dengan sumber daya terbatas, sehingga deteksi dini kasus menjadi kurang optimal.
- Kurangnya keterbukaan penyedia jasa boga.
Penyedia makanan sering enggan melaporkan masalah karena khawatir reputasi dan kontrak kerja terganggu. Hal ini menghambat transparansi dan memperlambat proses investigasi epidemiologi.
- Hilangnya sampel makanan.
Sampel makanan sering hilang atau tidak disimpan sesuai prosedur, sehingga penyelidikan tidak dapat menemukan penyebab pasti. Hal ini membuat banyak kasus berakhir tanpa kepastian etiologi.
- Lemahnya laboratorium daerah dan sistem peringatan dini.
Laboratorium di tingkat daerah masih terbatas baik dari segi peralatan maupun tenaga analis. Hasil pemeriksaan sering lambat, sementara sistem peringatan dini (early warning system) tidak berjalan efektif. Kondisi ini menghambat respon cepat di lapangan.
Jika kelemahan-kelemahan ini tidak segera dibenahi, maka MBG berpotensi menjadi program yang kontradiktif: mulia secara konsep, tetapi berisiko tinggi dalam implementasi.
Membangun Surveilans yang Lebih Tangguh
Program MBG seharusnya tidak hanya berorientasi pada kuantitas porsi makanan, tetapi juga kualitas dan keamanan pangan. Untuk itu, beberapa langkah strategis perlu dilakukan:
- Digitalisasi sistem pelaporan.
Sistem pelaporan berbasis digital yang terintegrasi dengan sekolah dan dinas kesehatan akan mempercepat deteksi kasus. Guru dapat melaporkan gejala langsung melalui aplikasi, dan petugas kesehatan segera mendapat notifikasi untuk melakukan respon dini.
- Penguatan laboratorium daerah.
Laboratorium di daerah perlu diperkuat dengan peralatan dasar uji mikrobiologi, ketersediaan reagen, serta peningkatan kapasitas tenaga analis. Dengan demikian, diagnosis penyebab dapat dilakukan lebih cepat tanpa menunggu hasil dari laboratorium pusat.
- Standarisasi higiene pangan.
Seluruh dapur penyedia MBG harus memenuhi standar kebersihan pangan. Fasilitas penyimpanan, pengolahan, dan distribusi wajib sesuai prosedur. Petugas dapur harus mendapat pelatihan rutin untuk menjaga standar tersebut.
- Tim respon cepat lintas sektor.
Dibutuhkan tim gabungan dari sektor kesehatan, pendidikan, dan keamanan pangan untuk merespon segera begitu ada sinyal outbreak. Tim harus mampu bergerak dalam hitungan jam, bukan hari, untuk mencegah meluasnya kasus.
- Kebijakan yang melindungi keterbukaan.
Penyedia jasa boga perlu mendapatkan perlindungan hukum bila melaporkan adanya masalah. Sanksi tetap diperlukan untuk mencegah kelalaian, tetapi kebijakan harus mendorong transparansi demi kepentingan kesehatan publik.
- Pendidikan gizi dan keamanan pangan.
Edukasi mengenai keamanan pangan perlu melibatkan siswa, guru, dan orang tua. Kesadaran kolektif lebih efektif dalam menjaga keamanan pangan dibanding hanya mengandalkan aparat.
Penutup: Jangan Biarkan Perut Anak Jadi Korban