Lihat ke Halaman Asli

Cahyadi Takariawan

TERVERIFIKASI

Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Darah Tinggi Bukan karena Daging Kambing, Melainkan karena Sistem Belajar Daring

Diperbarui: 1 Agustus 2020   05:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi orangtua membantu anaknya belajar di masa school from home (psychiatryadvisor.com)

Usai penyembelihan hewan kurban pagi tadi, marak beredar broadcast di berbagai grup WhatsApp tentang mitos daging kambing. Selama ini banyak masyarakat meyakini bahwa daging kambing adalah pemicu darah tinggi, ternyata dinyatakan tidak benar oleh ahli nutrisi.

Ardy Brian Lizuardy, seorang ahli nutrisi di Wageningen University, sebagaimana dikutip CNN Indonesia pada 31 Juli 2020, menyatakan bahwa "daging kambing picu darah tinggi hanya mitos".

Selanjutnya Ardy memaparkan bahwa dalam tiga ons daging kambing memiliki total lemak 2,6 gram. Ini paling kecil dibandingkan dengan tiga ons daging sapi yang mengandung 7,9 gram lemak, dan tiga ons daging ayam yang mengandung 6,3 gram lemak.

Dari segi kalori, tiga ons daging kambing mengandung 122 kalori. Ini lebih kecil dibandingkan dengan tiga ons daging daging sapi yang mengandung 179 kalori, dan tiga ons daging ayam yang mengandung 162 kalori.

Dari segi kolesterol, tiga ons daging kambing mengandung 63,8 miligram kolesterol. Sementara tiga ons daging ayam mengandung 76 miligram kolesterol. Dari berbagai macam perbandingan tersebut, disimpulkan bahwa daging kambing tidak memiliki potensi untuk menyebabkan darah tinggi.

Sistem Belajar Daring, Potesial Memicu Darah Tinggi
Ternyata yang lebih potensial memicu darah tinggi adalah sistem belajar dari rumah secara daring. Sebagaimana dinyatakan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), banyak siswa mengalami tekanan secara psikologis di masa pandemi ini.

KPAI menengarai, banyak siswa yang mengalami tekanan psikologis hingga putus sekolah karena berbagai masalah yang muncul selama mengikuti Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) daring di masa pandemi Covid-19. Siswa yang mengalami tekanan psikologis ini, mayoritas karena tidak bisa mengakses pembelajaran daring.

Bukan hanya siswa yang mengalami tekanan psikologis. Tekanan psikologis juga banyak menghinggapi orangtua yang harus mendampingi beberapa anak sekaligus di rumah di masa pandemi ini. Sangat banyak kendala, bukan hanya teknis terkait waktu atau paket data, namun sangat kompleks persoalannya.

Sebagaimana yang terjadi pada Bu Dini, seorang ibu rumah tangga, yang mengaku cukup stres karena anaknya, Fifah, terlalu santai dalam mengerjakan tugas. Sementara gurunya sudah mengumumkan jenis tugas yang harus dikerjakan di rumah. Dampaknya, Dini harus terus menerus mendampingi dan berasa kembali sekolah.

"Fifah kelas satu naik kelas dua. Tapi kata dia 'enak diajari sama ibu guru soalnya kalau sama mamah marah-marah, mulutnya galak'. Ya mau gimana lagi, berasa darah tinggi. Apalagi mamahnya juga jadi ikutan sekolah lagi padahal yang sekolahnya malah acuh enggak acuh," ungkap Bu Dini.

Tentu saja Bu Dini tidak sendirian. Sangat banyak ibu-ibu lain yang merasakan tekanan akibat pembelajaran daring ini. Hidup terkarantina saja, sudah membuat tidak nyaman. Apalagi ketika harus mendampingi anak-anak mengikuti PJJ. Tentu menjadi semakin berat bebannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline