Indonesia, negeri yang pertumbuhan ekonominya kini ibarat layangan putus: masih terbang, tapi benangnya dipegang harapan. Di kuartal pertama 2025, angka pertumbuhan ekonomi tetap tercatat, katanya, meski tekanan global menebar risiko seperti popcorn dalam microwave: meletup satu-satu tanpa peringatan.
Menurut Kementerian Keuangan, struktur ekonomi kita kokoh---karena ditopang oleh konsumsi domestik. Ini menarik, karena konsumsi domestik itu seperti pesta pernikahan kampung: selalu ada, selalu ramai, walau kadang hasilnya ngutang. Jadi, ketika negara-negara lain menggigil karena krisis global, kita tenang saja... karena rakyat tetap beli kopi sachet, ayam geprek, dan kuota 10GB per minggu.
Menteri Sri Mulyani, bilang bahwa ketahanan kita itu "bantalan". Istilah yang terdengar empuk, padahal bantalan ekonomi itu kadang seperti bantal kamar kos---tipis, berdebu, tapi tetap dipeluk saat mimpi buruk.
Namun, dunia tidak sekadar gelombang lokal.
Ada Trump, ada tarif, ada dagang yang direvisi setiap kali ia mengganti dasi. Di tengah ancaman kembalinya kebijakan isolasionis dari negeri Paman Sam, Indonesia tetap mesra berdagang. Bayangkan saja, pada 2024 ekspor kita ke AS tembus 26,3 miliar dolar. Angka yang besar, walau masih kalah dari angka utang orang yang beli iPhone pakai cicilan.
Lalu datanglah angka paling flamboyan: target pertumbuhan 8 persen di tahun 2029, dari pemerintah yang baru saja menguatkan jabat tangan dengan waktu dan ambisi. Ini seperti kita duduk di warung kopi, baru saja diberi tahu kalau tukang gorengan ingin jadi astronaut dalam lima tahun. Hebat? Bisa jadi. Mungkin dia serius. Tapi apakah bumi mendukung gravitasi cita-cita itu?
Ekonom bilang, untuk mencapai 8 persen butuh investasi jumbo, stabilitas politik, dan reformasi struktural. Tapi kita semua tahu, yang sering dibenahi justru struktur konten di TikTok dan wacana pindah ibukota yang muncul setiap kali debat publik mulai sepi.
Di sinilah humor ekonomi Indonesia muncul: bukan di angka, tapi di cara kita menanggapi angka. Di negeri ini, angka bukan lagi hasil, tapi alat: untuk meyakinkan, untuk menenangkan, kadang juga untuk meninabobokan.
Tapi tunggu dulu, belum selesai. Di balik semua itu, ada rakyat yang tetap antre minyak goreng, sambil sesekali scrolling berita pertumbuhan ekonomi dengan senyum miring. "Wah, ekonomi tumbuh, ya? Tapi kenapa warung sebelah tutup?"
Kalimat itu mungkin tak tercatat di riset Bank Dunia atau grafik BI, tapi justru menjadi indikator paling jujur dalam ekosistem ekonomi rakyat. Sebab pertumbuhan, di mata mereka, bukan angka, melainkan aroma dapur yang tetap hidup dan cicilan yang tetap lunas. Sayangnya, kadang yang tumbuh hanya daftar jargon, bukan daya beli.
Sementara itu, para ekonom di bilik pendingin menari dengan istilah seperti stimulasi fiskal, pembenahan birokrasi, atau diversifikasi ekspor. Tapi ibu-ibu di pasar lebih mengerti istilah harga cabai merah naik lagi.