Lihat ke Halaman Asli

Ozy V. Alandika

TERVERIFIKASI

Guru, Blogger

Manajemen Kecewa, Manajemen Iman, dan Manajemen Sehat untuk Hidup yang Lebih Baik

Diperbarui: 5 Mei 2021   00:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Kecewa. Gambar oleh Engin Akyurt dari Pixabay 

Bijaksana mengelola rasa kecewa telah menjadi gaya hidup sehat baruku saat ini, khususnya semenjak dilanda pandemi. Dan benar saja, bersandar pada penelitian yang digagas oleh Helene Tzieropoulos dkk, hadirnya rasa kecewa bakal menurunkan ekspektasi yang kemarin sudah dirangkai secara sistematis.

Pernahkah dirimu tertimpa kecewa hingga lahir perasaan bahwa hati ini dipenuhi oleh emosi jahat yang bertumpah ruah?

Jika pernah, atau bahkan sering, maka izinkan aku mengucapkan selamat. Terang saja, kecewa itu normal, terlebih lagi bagi kita yang menyandarkan harapan kepada manusia. Makin sering kita bersandar kepada manusia, makin sering pula kita kecewa.

Tapi, yang rasanya kurang normal adalah situasi ketika dirimu maupun diriku terlampau sering menumpuk kekecewaan hingga membiarkannya menggunung memenuhi kediaman hati.

Sederhananya, kamu kecewa kepadaku, namun tidak kamu ungkapkan secara terang. Sedangkan aku tidak mengetahuinya. Coba, bagaimana rasanya? Kesal, kan? Acieeeee. Kamu belum kenal kepadaku saja sudah kesal begitu. Sabar, Dek. Eh.

Manajemen Kecewa

Okeh, kita fokus ya. Kembali melirik penelitian dengan judul The Impact of Disappointment in Decision Making: Inter-Individual Differences and Electrical Neuroimaging, ternyata kekecewaan itu berhubungan erat dengan pengkhianatan, kemarahan, hingga penyesalan.

Ilustrasi kecewa gegara terlalu berharap kepada manusia. Gambar oleh Myriams-Fotos dari Pixabay 

Dalam kehidupan sehari-hari, gaya hidup yang sering menabur kekecewaan sungguh merugikan. Bagaimana tidak, selain mematahkan harapan bin ekspetasi sendiri, kekecewaan bisa membuat kita berprasangka buruk, iri, hingga dengki dengan rezeki orang lain.

Orang lain dapat BSU, eh, kita yang tidak dapat malah kecewa, kemudian iri dan berakhir dengan saling sindir. Program kerja organisasi jadi berantakan gegara pandemi, eh, atasan jadi kecewa gara-gara kerja para karyawannya terbatas. Ujung-ujungnya, pangkas gaji. Ehem.

Sedih, kan? Sejatinya asal mula kekecewaan tersebut hanya satu, yaitu kita yang terlalu berharap kepada manusia. Gara-gara bertemu orang baik, kita ingin sering ditolong olehnya. Tapi ketika orang baik tadi pergi? Yaaaaah, kecewa lagi. Jikalau terus kecewa, kita bakal sakit hati.

Alhasil, rasanya kita perlu mengelola rasa kecewa. Perlu ada manajemen kecewa, dan salah satunya adalah kita jangan terlalu mengandalkan dan berharap kepada orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline