Lihat ke Halaman Asli

Kartini 4.0: Membaca Peluang di Antara Jeratan Peradaban

Diperbarui: 27 Mei 2019   20:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Banyak halyang bisa menjatuhkanmu. 

Tapi satu-satunya hal yang benar

-benardapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri

R.A. Kartini

Sebelum membahas lebih lanjut terkait topik pada tulisan kali ini, pemilihan nama tokoh perempuan sebagai judul dalam tulisan tidak bermaksud untuk menutup mata pada pejuang-pejuang perempuan Indonesia lainnya, yang telah mengorbakan nyawa, waktu, dan pikiran-pikirannya untuk memperhatikan masa depan perempuan 

Kartini merupakan seorang perempuan berdarah Jawa yang pertama kali mempertanyakan posisi perempuan dalam keluarga dengan balutan tradisi feodal Jawa. Menjadi cukup dikenal karena ia tak hanya berhasil mendirikan infrastruktur  fisik sekolah untuk kaummnya perempuan, melainkan " infrastruktur pemikiran" bagi para perempuan melalui tulisan-tulisannya. Karena alangkah betapa susahnya memahami kondisi Kartini pada saat itu jika Kartini tak benar-benar menulis sejarahnya sebagai sebuah bahan perbandingan kondisi perempuan hari ini. Ini yang kemudian menjadikan alasan penulis lebih akrab dengan perjuangan Kartini dibanding tokoh-tokoh perempuan lainnya, yang kemudian berujung pada pemilihan judul pada tulisan kali ini.

Kegelisahan Kartini mengenai kondisi perempuan pada zamannya, yang khusunya yang tidak mendapatkan hak pendidikan, menikah muda, tidak memiliki keahlian apapun setelah menikah sehingga dipandang sebagai second class  dan berujung pada kutukan dapur, sumur, dan kasur merupakan sejumlah kegelisahan yang meluap sehingga  dengan persetujuan suaminya bupati Rembang Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ia mendirikan sekolah Kartini pada tahun 1912.

Perjuangan menuntut hak-hak perempuan tanpa harus mengkambing hitamkan laki-laki atau bahkan memusuhinya, ini merupakan ciri khas gerakan Kartini. Entah pada saat itu ia mengenal istilah patriarki atau tidak, di dalam surat-suratnya pada sahabatnya di Belanda tak satu pun ia  menyalahkan laki-laki atas apa yang terjadi pada diri perempuan.

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali kami nginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaumwanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama .

 (Surat Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya, 4 Otober 1901)

*Kartini dan Redefinisi Makna Budaya Patriarki

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline