Mohon tunggu...
ona mariani
ona mariani Mohon Tunggu... Freelancer - Riset

Content Writer || Content Creator || Researcher || Journalists

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kartini 4.0: Membaca Peluang di Antara Jeratan Peradaban

27 Mei 2019   20:02 Diperbarui: 27 Mei 2019   20:18 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sekali lagi jika ditarik pada ranah strategi gerakan, Kartini melibatkan laki-laki dalam perjuangannya. Bagaimana hal ini dapat kita lihat pada tulisan-tulisannya ketika ia membahas soal Panji Sosrokartono yang tak lain adalah saudara laki-laikinya yang menjadi orang pertama dalam keluarganya yang mendukung semua gagasan-gagasan Kartini dengan meminjamkan buku-bukunya pada Kartini. Mengajari Kartini berbagai bahasa di antaranya Belanda dan Inggris karena ia seorang polyglot yang cakap dalam 24 bahasa asing dan 10 bahasa daerah . ( Baca: Historia.id edisi 21 oktober 2016).  

Gagasan-gagasan Kartini dalam suratnya pada sahabat pena-nya seperti Stella, Nyonya Abendanon, Prof Anton itu  pun tak   terlepas dari nasihat-nasihat Kartono pada Kartini yang memiliki jaringan pertemanan luas di Eropa, sebagai sebuah pemantik untuk Belanda dalam melihat kesenjangan pendidikan di Bumi Poetra pada saat itu

Selain itu bagaimana kemudian  hubungan Kartini dan suaminya Adipati Ario Singgih Bupati Rembang dalam mendirikan sekolah  putri Kartini di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabuapten Rembang, dan juga mendatangkan guru ukir dari Jeparan untuk sekolah pertukangan kayu bagi anak laki-laki. Ia mendukung sepenuhnya apa yang menjadi cita-cita Kartini pada masa itu. (Willebord Yudhistira dalam RA Kartini: Hidup dan Perjuangannya Bagi Remaja (Putri) Masa Kini academia. edu)

Sekilas melihat perjuangan Kartini yang didukung oleh laki-laki di dalam keluarganya, dapat kita lihat bagaimana kemudian Kartini cukup bersahabat dalam memahamkan apa yang kemudian menjadi persoalan yang dihadapi oleh perempuan terhadap laki-laki pada masa itu. 

Strategi semacam ini yang kemudian sedikit  sulit dipahamkan , tepatnya ketika kita menghadirkannya pada  ruang-ruang kajian feminisme, yang terkesan menjadikan seluruh laki-laki sebagai kambing hitam dari seluruh persoalan perempuan. Seperti apa yang kemudian diungkapkan oleh seorang feminis Lynne Segal yang berpandangan bahwa ' sebagai perempuan kita bis mengubah kehidupan kita dan juga orang lain pada saat kita sudah dapat melihat apa yang ada di balik "kebohongan  laki-laki".

Konsep patriarki yang dinilai masih menjadi instrument yang relevan dalam menjelaskan posisi perempuan yang subordinat (Alexander dan Tylor 1981), sejatinya hanya sampai pada pembahasan "generalitas  abstrak"  dalam ranah kajian, namun memaksakan diri untuk diwujudkan secara nyata di ranah praktis.

Dalam kajian budaya feminis, konsep ini sering kali dianggap sebagai : suatu sistem dominasi laki-laki yang dianggap ada dan digunakan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan pelbagai macam contoh penindasan yang dialami perempuan (Baca: Joanne Hallows, Feminisme, femininitas dan Budaya Populer). Namun sadar atau tidak kita sering menghindari pembahasan  terkait sifat, bentuk dan penerapan patriarki itu sendiri dan hanya sampai pada hal-hal yang "bersifat patriarki" atau "efek dari patriarki" itu sendiri. Kerancuan dalam menjelaskan konsep patriarki ini yang kemudian tak heran jika sebagian laki-laki cenderung menjaga jarak pada kajian-kajian seputar perempuan atau bahkan terlibat dalam perjuangan pergerakan perempuan.

Selanjutnya dampak dari adanya generalisasi abstrak tentang konsep patriarki ini yang kemudian membuat kita mudah menghukumi segala sesuatu yang menjadi penghambat gerakan perempuan adalah sesuatu yang niscaya sebagai "patriarki".  Bahkan setiap perempuan yang datang dengan status sosial berbeda itu bisa saja memiliki sudut pandang yang berbeda tentang patriarki itu sendiri.

Seorang perempuan yang mempunyai status sosial tertentu di masyarakat dan memperoleh peran strategis, tentu melihat perempuan lain yang memilih jalan sebagai ibu rumah tangga dibanding mengejar karir adalah karena ia terjebak dalam budaya patriarki yang diciptakan oleh sang suami.

Sedangkan seorang perempuan terpelajar melihat perempuan yang hanya menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan dan sibuk mementingkan penampilan, adalah karena ia juga terjebak oleh patriarki kapitalistik yang berhasil menjadikan mereka sebagai konsumen dan meta-komoditi. (Baca: Yasraf Amir Piliang, Dunia yang dilipat)

Sedangkan sebagai perempuan yang memilih untuk mengurusi keluarganya, juga tentu akan melihat perempuan yang bekerja sebagai buruh-buruh pabrik adalah perempuan yang patut dikasihani karena budaya patriarki yang datang dalam bentuk himpitan ekonomi telah mendorong mereka sebagai pekerja yang tak memiliki waktu bebas untuk menikmati momen-momen bersama keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun