Tentu ini bagian dari aspirasi yang menjadi cerminan dari keinginan dan kepentingan umat islam yang dipersentasikan oleh pondok pesantren sebagai basis kultural dan sebagai basis pendidikan umat islam yg memiliki nilai kesejarahan sangat trategis hingga kemudian merealisasikan sebuah negri yang mayoritas muslim di dunia.
Undang-undang 18 tahun 2019 tentang pesantren yang disahklan 16 oktober 2019 yang lalu, keberadaannya terus menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat sebagaimana sejak awal digagasnya Undang-undang ini hingga proses pembahasannya di DPR dan pengesahanya pun di warnai pro dan kontrak, terbitnya UU Pesantren tersebut di ikuti terbitnya sejumlah perundang undangan terkait di antaranmya adalah peraturan mentri agama No 31 tahun 2020 tentang pendidikan pesantren dan peraturan presiden Nomor 18 tahun 2021 tentang pendanaan pe nyelenggarakan pesantren dan juga di tingkat jawa timur saat ini muncul Rapeerda tentang pengembangan pesantren dan memang harus ada sejumlah peraturan pemerintah yang lain yang harus diterbitkan sebagai penjelasan penjabaran dari UU pesantren tersebut.
Berbagai problem formil yang penuh kontroversi karna terbitnya UU Pesanrtren itu serta peraturan turunannya ditambah banyaknya subtansi pembahasan yang menimbulkan dugaan publik adanya hiden agenda dibalik pengesahan UU Pesantren tersebut yang tentu kita semua mengetahui UU pesantren dan produk turunan ini patut memiliki subtansi dan ruh untuk mencapuri urusan rumah tangga pondok pesantren bahkan mendekte urusan pendidikan pondok pesantren baik terkait kurikulum maupun managemennya, bahkan terlalu jauh juga diduga akan mengarah kepada mencampuri urusan keuangan pondok pesantren.
Jika kita lacak sejarah bangsa kita akan mendapati pondok pesantren itu lahir jauh sebelum lahir negara ini, bahkan dari beberapa penelitian diperkiraklan bahwa pesantren di indonesia ini atau kelembagaan pesantren ini telah eksis pada abad 17 atau 2 abad sebelum lahirnya indonesia, akar kelembagaan pesantren sudah sedemikian kuat berada ditengah-tengah masyarakat dan turut memberikan corak bagi pembentukan norma dan budaya di masyarakat bahkan kelembagaan pesantren ini memiliki peran yang sangat besar dalam perjuangan merebut dan mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan hal itu tidak bisa ditampikkan oleh siapapun.
Dari pesantren lah kiyai dan para ulama menggalang kekuatan umat melawan penjajah tidak hanya serupa seruan-seruan verbal, tetapi para kiyai, para ulama, para santri berada digaris terdepan didalam pertempuran fisik melawan penjajah, sehingga menjadi nyata bahwa pesantren adalah akar sekaligus cikal bakal dari eksistensi dari negara ini, maka tentu negara sebagai intitusi yang lahir setelah pondok pesantren wajib menghargai, menghormati, memuliakan pondok pesantren dan berusaha tidak masuk dalam ranahyang memang seharusnya menjadi hak pondok pesantren dan pemangkunya untuk mengaturnya, negara tidak boleh mencampuri urusan pesantren sampai mendekte urusan pendidikan pesantren, baik dengan kurikulum, managemen dan bahkan keuangan pondok pesantren. sehingga hadirnya negara terlibat didalam dan turut campur dalam urusan pesantren hanya untuk memungkinkan bahkan diwajibkan sepanjang itu berkaitan tugas dan tanggung jawab negara untuk melayani rakyat, tapi negara tidak boleh melakukan inprensi pesantren dengan melakukan sejumlah standarisasi pola managemen pesantren menjadikan izin oprasional pemerintah sebagai satu-satunya legitimasi oprasi pesantren,menyeragamkan kurikulumnya dan mencampuri urusan keuangan.
Pondok pesantren sebagai sebuah pendidikan kultural dan non formal selama ini telah dikembangkan dengan memperhatikan kultur dan kearifan lokal masing-masing termasuk kearifan lokal managemen pengelolaan pesantren maupun pengajarannya. Namun semua peantren dipastikan mengadopsi metode dan proses pelajaran mengacu pada al-quran dan As-Sunnah. Walaupun tidak semua pesantren mengajarkan kitab kuning dan tidak semua pesantren pengasuhnya lulusan dari pesantren. Kekhasan dan keunikan dari masing-masing pondok pesantren ini justru menjadi khasanah tersendiri yang berkembang selama ber abad-abad dan dengan kondisi seperti itu tidak berkurang sedikit pun kepercayaan masyarakat kepada pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan ke agamaan sehingga selama ini pondok pesantren tumbuh dan berkembang seiring dengan dukungan dan partisipasi dari masyarakat atau umat. Kalaupun ada pesantren yang tidak memenuhi ekspetasi publik maka terjadi seleksi alam.
Justru dengan UU Pesantren dan turunannya khususnya Peraturan presiden Nomor18 tahun 2021 tentang penyelenggarakan pendanaan, penyelenggaraan pesantren dan aturan Mentri Agama Nomor 31 tahun 2021 tentang pendidikan pesantren berbagai kearifan lokal yang kekhasan dan keunikan yang melekat pada masing-masing pesantren itu hendak dihapuskan dan mengarah kepada standarisasi tertentu. Dugaan adanya agenda dibalik itu semua memang patut dipertanyakan, misalnya harus ada majlis masayih dan dewan masayih yang memiliki kewajiban untuk mendapatkan izin oprasional, penyeragaman kurikulum pendidikan, prosedur dan pertanggung jawaban pengelolaan dana abada pesantren.
Ada sejumlah potensi dari berbagai ketentuan dari peraturan Undang-Undang tersebut seperti kewajiban adanya majlis masayih dan dewan masayih sebagai mana diatur dalam pasal 27 dan 29 akan merusak kultur dan pakem yg memang telah eksis di masing-masing pesantren yang dimana satu pondok dengan yang lainnya pasti berbeda, kewajiban untuk mendapatkan izin oprasional di khawatirkan sebagai alat menekan pesantren agar tidak bersuara kritis dipemerintah, jika bersuara kritis bisa jadi izin oprasionalnya bisa di cabut ,sementara penyeragaman kultur kurikulum merubah total kekhasan kurikulum yang sudah puluhan tahun eksis di masing-masing pesantren tersebut.
Disisi lain dana abadi di pondok pesantren juga sangat berpotensi untuk menjadi pemecah belah diantara pondok pesantren dan bahkan lebih jauh lagi menjadi ladang korupsi, pondok pesantren bisa terpecah belah karna berebut dana abadi pondok yang tentu hal ini menjadi satu hal yang selama ini tabu, selama ini pesantren dikenal dengan karakter kemandiriannya yang tidak mengendalkan Bantuan pemerintah apalagi mengandalkan bantuan dana abadi. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang pesntren dan aturan turunannya juga berpotensi alat politik untuk menyandra pondok yang selama ini relativ indipenden padahal realitas pondok dalam lembaga dakwah justru memiliki kewajiban memberi nasihat atau memberikan muasabah kepada penguasa bukan sebaliknya. Dan lebih jauh lagi UU Pesantren juga berpotensi disalah gunakan atau dimanfaatkan sebagai ajang dukung-mendukung dalam kegiatan subsensi politik baik ditingkat nasional maupun daerah, dan hal ini jelas akan meruntuhkan marwah dan wibawa pesantren sebagai majelis ilmu bukan sebagai anderbow partai politik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI