Lihat ke Halaman Asli

Jurnalisme Warung Kopi

Diperbarui: 22 Juli 2021   15:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Setiap mendapat kabar media arus utama seperti koran gulung tikar, jujur saya sedih. Hampir 30 tahun lebih saya berjibaku Bersama media arus utama terutama koran. Orang lalu menyebut: kini saatnya senja kala media cetak! Media cetak ditinggal pembacanya. Media cetak tinggal kenangan.

Kalau pun bertahan maka itu hanya koran-koran bermodal besar dan sudah mempunyai pelanggan setia. Dengan modal yang bejibun, media arus utama mulai berbenah diri dan masuk dalam pertarungan apa yang disebut jurnalisme multiplatform. Sebuah jurnalisme yang memanfaat saluran komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada publik.

Sayangnya, sampai sekarang pun belum ada sosok jurnalisme multiplatform yang ideal. Masih banyak media massa yang masih meraba-raba untuk mencari bentuk yang ideal.

Pertanyaan yang mendasar dalam soal ini sebenarnya bagaimana ruang publik bisa menjadi dibuka seluas-luasnya oleh media arus utama. Karena sekarang ini ruang publik sudah bertebaran di mana-mana. Orang dengan handphone sudah bisa berselancar melalui media sosial. Entah itu twitter, instagram, facebook atau yang lainnya. Ada yang menyebut sebagai era banjir informasi. Bahkan, informasi dari media sosial tidak mengenal deadline. Dia datang bertubi-tubi dari pelbagai sisi tanpa bisa dihentikan sama sekali!

Pertanyaannya: bagaimana ruang publik itu kini? Di mana media arus utama bisa bermain?

Ya jujur saja media arus utama kini tertatih-tatih menghadapi gempuran media sosial. Kalau dulu reporter harus menggunakan kaki untuk mencari berita. Sindhunata mantan jurnalis Kompas menyebut hidup wartawan bukanlah di kantor tapi di jalanan. Selanjut dia bilang begini: "Wartawan pada awalnya adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak. "

Artinya, wartawan itu harus mencari objek beritanya dengan menggunakan kakinya, dengan berjalan terlebih dahulu, sebelum ia menggunakan otak dan pikirannya.

Masih menurut Sindhunata, secemerlang apapun otak sesorang wartawan, kalau ia malas menggunakan kakinya, ia tidak akan memperoleh berita yang autentik.

Namun kondisi sudah berubah. Tak bisa dipungkiri lagi banyak wartawan yang malah mendapatkan bahan berita hanya dengan memantau media sosial. Media sosial kini menjadi sumber berita yang tiada habisnya. Misalnya saja ketika terjadi kecelakaan maut di Jalan Tol Cipularang, maka media arus utama terutama media online tanpa malu-malu mengambil video yang diunggah saksi mata kejadian itu instagram. Berita kecelakaan tersebut lalu dibumbui dengan video dari media sosial. Lengkap sudah berita tersebut!

Copy paste ikut mewarnai dunia persilatan jurnalistik. Ada jurnalis yang copy paste berita dari sebuah atau beberapa portal berita lalu menuliskan ulang dengan gaya penyajian berbeda. Yang penting fakta-fakta utamanya sama. Tidak lebih pun tak kurang! Ada senior saya dengan enteng mengatakan, dirinya tinggal menulis: pelbagai sumber di bawah berita yang diambil dari sejumlah portal berita. Selesai! Soal etis atau tidak persetan katanya! Itu urusan belakang. Lagi pula siapa yang tahu!

Inikah sosok jurnalisme di era internet seperti sekarang ini?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline