Lihat ke Halaman Asli

Nilnal Muna Kamal

Universitas Negeri Malang

Masjid dan Makam Mantingan; Warisan budaya Ratu Kalinyamat

Diperbarui: 29 Mei 2025   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Bagian dalam Masjid (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Jepara, Jawa Tengah – Di antara warisan sejarah Islam di Pulau Jawa, terdapat sebuah kompleks masjid yang tak hanya menyimpan nilai spiritual, tetapi juga jejak kekuasaan perempuan dalam sejarah Nusantara: Masjid dan Makam Mantingan, yang berlokasi di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Kompleks ini merupakan salah satu peninggalan penting dari masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, tokoh perempuan yang dikenal gigih, berwibawa, dan disegani, baik oleh rakyatnya maupun oleh bangsa asing seperti Portugis. Dibangun pada tahun 1481 Saka atau 1559 Masehi, Masjid Mantingan menjadi simbol kecintaan dan penghormatan sang ratu terhadap suaminya, Sultan Hadirin, yang telah wafat.

Sejarah Pembangunan dan Nilai Budaya

Tanggal pembangunan masjid diketahui dari candrasengkala yang terpahat di bagian mihrab Masjid Mantingan. Ukiran tersebut berbunyi “Rupa Brahmana Warna Sari,” yang jika ditafsirkan dalam sistem penanggalan Masa hindu buddha merujuk pada tahun 1559 Masehi. Candrasengkala ini menjadi bukti otentik usia masjid sekaligus petunjuk penting dalam kajian epigrafi dan arsitektur Jawa-Islam.

Tak hanya sekadar bangunan ibadah, Masjid Mantingan juga menjadi bagian dari kompleks makam keluarga kerajaan dan tokoh penting Jepara. Kehadiran makam Sultan Hadirin serta tokoh-tokoh lain memperkuat identitas situs ini sebagai pusat spiritual sekaligus tempat ziarah yang ramai dikunjungi masyarakat hingga hari ini.

Kolaborasi Nusantara dan Tiongkok

Pembangunan Masjid Mantingan juga mencerminkan akulturasi budaya yang luar biasa. Untuk merancang dan membangun masjid ini, Ratu Kalinyamat meminta bantuan seorang tokoh spiritual asal Tingkok, Chi Hui Gwan, yang lebih dikenal sebagai Patih Sungging Badarduwung. Ia adalah guru spiritual sekaligus ayah angkat Sultan Hadirin ketika menimba ilmu di Tiongkok.

Dengan campur tangan Patih Sungging Badarduwung, desain arsitektur Masjid Mantingan menggabungkan unsur-unsur budaya Jawa dan Tiongkok yang khas. Hal ini terlihat dari bentuk ornamen, relief, serta konstruksi bangunan yang memiliki nuansa unik dan berbeda dari masjid-masjid lain pada zamannya.

Foto pintu masuk cungkup area makam Ratu dan Sultan (Sumber:Dokumntasi pribadi)

Warisan Sejarah yang Masih Hidup

Masjid dan Makam Mantingan hingga kini terus digunakan sebagai tempat ibadah dan ziarah. Tidak sedikit pengunjung datang untuk mengenang jasa Ratu Kalinyamat dan Sultan Hadirin. Selain itu, keberadaan masjid ini juga sering dijadikan objek studi sejarah, budaya, dan arsitektur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline