Langit pada malam itu terlihat bersih dari awan. Bulan dan bintang-pun tidak malu untuk menunjukan keindahan mereka, di panggung yang bersih itu. Di suatu teras seorang tua memandang pertunjukan tersebut tanpa terkesan sedikit pun. Ia adalah Pak Kartana seorang pemilik perusahaan media ternama di negaranya. Perusahaan tersebut berawal dari percetakan koran sederhana yang didirikan Pak Kartana ketika ia masih muda. Kini di tahun 20XY, percetakan sederhana tersebut telah berkembang pesat. Diketahui oleh semua lapisan masyarakat yang mau membeli produk produksi perusahaan tersebut, membuat perusahaan Pak Kartana menjadi salah satu dari jajaran perusahaan paling menghasilkan di negaranya.
Dibalik kesuksesan perusahaannya, Pak Kartana memiliki kegundahan terhadap perusahaannya. Sebuah perusahaan yang ia rintis karena rasa cinta pada koran cetak, kini malah merugi karena hal yang dicintainya itu sendiri. Secara global, kehadiran media elektronik seperti Tv, radio, dan sebagainya sudah lumayan menurunkan penjualan koran. Hal itu diperparah dengan kehadiran alat bernama telepon genggam, sebuah alat revolusioner yang memudahkan manusia dalam melakukan banyak hal, termasuk dalam membaca berita. Banyak perusahaan percetakan lainnya terpaksa bangkrut karena hal tersebut, namun berbeda halnya dengan Pak Kartana. Ia adalah seorang pebisnis inovatif yang berani mengikuti perkembangan, sehingga perusahaannya menjadi semakin besar dengan memanfaatkan teknologi terbaru. Namun meski begitu, hal itu tidak dapat menyelamatkan minat masyarakat pada koran cetak. Kini koran cetak kesayangannya tersebut merupakan satu-satunya produk yang membuat perusahaan Pak Kartana merugi.
Apakah aku terlalu naif? Apakah aku seharusnya menghentikan produksi koran cetak? Apakah masyarakat sudah setidak suka itu dengan koran cetak? Apakah perusahaanku dapat ...? Apakah MU ...? Apakah ...? Apa...? ... ?
BRAK!! Suara piring kaca beradu dengan kaca meja, diikuti beberapa percikan kopi panas yang mengenai kulitnya menghentikan aliran pertanyaan di otak Pak Kartana. "Aduhh, dasar Mas itu selalu saja begini kalau sedang ada masalah. Katanya mau hidup bersama sampai 100 tahun, kok malah mikir yang aneh-aneh". Kata-kata pedas yang diucapkan dengan nada yang lembut istrinya tersebut tidak pernah gagal membuat Pak Kartana merasa aneh. "Dhik, menurutmu Mas harus menghentikan produksi koran cetak ndak e?". "Lho tambah aneh, biasanya ngomong nggak kok". "Mas udah capek mikir Dhik". Sambil menggelengkan kepalanya Bu Kartana menuangkan kopi yang ia bawa ke atas piring. "Kerugiannya sudah sebesar itu ya?". "Lumayan, Investor sudah pada marah-marah". "Pfft, sejak kapan seorang Kartana mau mendengarkan Investornya?", Bu Kartana tidak bisa menahan tawanya melihat peristiwa sekali seumur hidup tersebut. "Yang mereka katakan itu ada benarnya Dhik, biaya produksi koran cetak terbilang mahal dibanding produk yang lain, sementara hasilnya tidak banyak. Aku ndak sekolot itu", sahut Pak Kartana yang merasa tersindir, sambil meminum kopinya.
Bulan yang semakin tinggi di langit, mengingatkan Pak Kartana akan masa kecilnya, dimana polusi udara masih minim. Masa kecil dimana membaca koran adalah hiburan terindah baginya. "Menurutku selama kerugian belum sebesar biaya produksi, tidak ada alasan untuk menghentikan produksinya Mas?", kata Bu Kartana setelah menikmati pertunjukan malam sebentar. "Kenapa?". "Memangnya kenapa kalau Mas rugi dari situ, sebanyak apapun kerugiannya, jumlahnya tidak akan terlalu signifikan". "Aku tidak hanya berpikir tentang masalah uang Dhik, ada aspek lain", Pak Kartana menghela nafas.
"Aku juga tidak nyaman melihat tumpukan koran yang tidak terjual. Banyak aktivis juga yang mempermasalahkan hal tersebut karena hanya menambah limbah berbahaya untuk lingkungan", kata Pak Kartana dengan nada marah. Melihat hal itu Bu Kartana tersenyum, "Mas-mas, katanya orang-orang kamu ini seorang yang sangat inovatif, masak masalah seperti itu saja kamu tidak ada ide", Pak Kartana terdiam. "Masalah limbah, kenapa kamu tidak mencoba membuat koran yang ramah lingkungan? Uang kita pasti cukup untuk itu. Lalu masalah tidak ada yang membeli, kan artinya kamu harus menumbuhkan minat masyarakat. Ayolah, aku tidak tahu orang lain yang dapat melakukan hal itu selain kamu, kecintaanmu terhadap koran selalu berhasil untuk membuat orang lain juga ingin untuk membaca koran". Bu Kartana memberikan sedikit jeda, "Mas, kalau koran cetak di stop memangnya kamu akan bahagia? Kita melakukan suatu pekerjaan karena kita memiliki kecintaan tertentu terhadapnya. Apabila kamu tidak bisa mendapatkan hal itu untuk apa kamu bekerja?". Mendengar perkataan istrinya, Pak Kartana tidak bisa berkata apapun. Istrinya benar, dia adalah Pak Kartana salah satu pengusaha paling inovatif di negaranya, dan ia adalah orang yang sangat mencintai koran cetak. Halangan akan selalu ada, maka ia harus selalu maju, dan itu sumpahnya di bawah langit malam yang gemerlap.
Hoshe Satria Yuda, Nicholas Chester Ganechigva Kanateean (Siswa SMA Kolese De Britto, Yogyakarta)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI