Lihat ke Halaman Asli

Pandu Aji Wirawan

Professional Jobless

Peraturan Rancu Karena People Power

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pagi ini saya melalui sebuah lokasi yang bersejarah bagi saya. Sebuah tempat yang saya pergunakan untuk mengukir kisah-kisah indah dalam kehidupan. Seperti kata kebanyakan orang bahwa masa putih abu-abu adalah masa yang paling indah. SMK Negeri 1 Surabaya merupakan tempat yang saya pilih untuk menghabiskan masa terindah tersebut.

Sekolah yang terletak di Jl. Smea no 4 Wonokromo, Surabaya ini sudah sangat berbeda dengan saat saya meninggalkannya setahun yang lalu. Begitu cepat pembangunan sekolah ini. Sangat berbeda dengan sekolah-sekolah di pelosok yang terancam roboh.

Beberapa waktu lalu saya mengambil rapot adik saya yang juga sekolah di sini. Sebelum mengambil rapot, para wali murid dikumpulkan dalam aula untuk mendengarkan cerita-cerita dari kepala sekolah. Karena seperti tahun-tahun sebelumnya, saya memutuskan untuk datang telat, dengan tujuan langsung mengambil rapot. Ketika saya datang, ternyata wali murid masih dikumpulkan di aula sekolah. Terpaksa saya masuk dalam aula untuk sekedar mengetahui dan ngobrol dengan guru yang berada di deretan paling belakang.

Kepala sekolah bercerita tentang kebijakan yang beberapa waktu lalu ditolak tegas oleh sebagian besar wali murid. Awalnya saya pun juga menolak tentang kebijakan tersebut, namun ketika kepala sekolah mulai menjelaskan saya baru menyadari bahwa sebenarnya penolakan saya itu salah.

Kebijakan yang menjadi kontroversi tersebut adalah pelarangan siswa / siswi yang belum memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) membawa sepeda motor ke sekolah. Bukan rahasia lagi sebagian pelajar yang mengendarai motor ke sekolah, tidak atau belum memiliki SIM.

Kebijakan tersebut bagai rejeki untuk warga sekitar sekolah yang memiliki tanah cukup luas. Mereka memanfaatkan tanah mereka untuk penitipan sepeda motor. Sayangnya kebijakan tersebut tidak bertahan lama, sehingga memaksa usaha penitipan sepedar motor gulung tikar. Bahkan berita penolakan kebijakan ini sampai dimuat dalam sebuah surat karabar nasional. Hingga akhinya kebijakan tersebut dihapuskan setelah sekolah mendapat teguran dari 'atasan'.

Jika dicermati lebih lanjut, sebenarnya sekolah sudah benar memberikan kebijakan tersebut. Karena menurut peraturan siapapun yang belum atau tidak memiliki SIM tidak diperbolehkan mengendarai kendaraan bermotor. Dengan dibatalkannya kebijakan tersebut sekolah sama saja dengan mendukung mereka yang tidak memiliki SIM untuk mengendarai kendaraan bermotor di jalanan.

Menurut saya pribadi, kebijakan tersebut memberikan banyak dampak positif.


  • Mengurangi jumlah pengendara kendaraan bermotor yang secara otomatis akan mengurangi penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak bukan BlackBerry Messenger), mengurangi kemacetan, mengurangi tingkat kecelakaan (meski tak banyak)
  • Pemanfaatan fasilitas umum seperti angkot, trotoar (untuk pejalan kaki).
  • Membuka lapangan pekerjaan baru (bagi mereka yang masih nekat membawa motor ke sekolah)
  • Mengurangi penuhnya parkiran di sekolah, semakin tahun jumlah siswa yang naik motor ke sekolah semakin bertambah.


Gara-gara people power, sebuah peraturan menjadi rancu bukan? Kasus ini mirip kasus contek massal yang juga terjadi di wilayah Surabaya. Bagaimana solusinya?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline