Komposer Baleganjur"Pacek Poleng" yang Menjembatani Tradisi dan Inovasi
Di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi musik, masih ada sosok-sosok yang berani berdiri tegak menjaga akar sambil menumbuhkan cabang baru. Salah satunya adalah I Wayan Situbanda, atau yang akrab dipanggil Banda. Lahir pada 24 Februari 1996, Banda tumbuh di lingkungan yang sarat dengan tradisi Bali---di mana denting gamelan bukan sekadar suara, melainkan napas kehidupan. Namun, dari ruang tradisi itu pula, ia menyalakan bara keberanian untuk bereksperimen dan mencipta sesuatu yang segar: musik tradisional kontemporer yang menggugah, menantang, sekaligus sarat makna budaya.
Awal yang Berakar di Tanah Seni
Perjalanan musikal Banda bermula di SMK Negeri 3 Sukawati (KOKAR), sekolah yang dikenal sebagai kawah candradimuka bagi seniman muda Bali. Di sinilah ia pertama kali mengasah kepekaan terhadap karawitan, memahami ritme dan struktur gamelan, sekaligus menemukan identitasnya sebagai pemain dan pencipta. Ketekunannya pada instrumen reong membuatnya cepat dikenal di kalangan teman dan guru---bukan sekadar karena kemampuannya memainkan pola yang rumit, tetapi karena cara ia "berbicara" melalui setiap tabuhan.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, Banda melanjutkan studi ke Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Lingkungan akademik ini memberinya ruang lebih luas untuk bereksperimen. Di kampus, ia tidak hanya belajar teknik, tetapi juga mempelajari cara berpikir konseptual tentang musik. Ia mulai menanyakan hal-hal yang jarang disentuh musisi muda pada umumnya: Apa itu suara dalam konteks budaya? Bagaimana tradisi bisa berevolusi tanpa kehilangan jiwanya?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang kelak menjadi fondasi dari gaya khas Banda: berani, eksperimental, tapi tetap spiritual.
Musik sebagai Ruang Eksperimen
Banda tidak pernah memandang gamelan sebagai benda sakral yang tak boleh disentuh. Baginya, gamelan adalah "organisme hidup" --- sesuatu yang bisa diajak berdialog, diolah, dan disusun ulang untuk mengekspresikan gagasan baru. Salah satu contohnya adalah karya "Traffic Light", sebuah komposisi unik untuk instrumen reong. Dalam karya ini, ia mengambil inspirasi dari lampu lalu lintas, sesuatu yang sepintas jauh dari dunia karawitan.
Namun justru di situlah kejeniusan Banda terlihat. Ia menerjemahkan warna dan ritme pergantian lampu lalu lintas---merah, kuning, hijau---ke dalam pola dinamika dan tempo pada reong. Setiap warna memiliki nuansa emosional tersendiri: merah sebagai ketegangan, kuning sebagai jeda, hijau sebagai kebebasan. Musiknya menjadi seperti perjalanan di jalan raya kota---penuh energi, tapi tetap teratur dan berirama. Lewat karya ini, Banda membuktikan bahwa inspirasi bisa datang dari mana saja, dan bahwa gamelan mampu berbicara dengan bahasa zaman.
Eksperimen seperti itu tidak berhenti di satu karya. Ia kemudian bergabung dengan Insitu Recordings, sebuah komunitas musik yang fokus pada pengembangan gamelan modern. Bersama komunitas ini, Banda menciptakan karya-karya seperti "Benih" dan "Lingkar", dua eksplorasi musikal yang menggunakan reong tunggal sebagai medium utama. Di tangan Banda, reong tidak lagi sekadar bagian dari ansambel besar, tapi menjadi instrumen soliter yang mampu menuturkan kisah utuh. Pendekatannya sangat personal---seolah ia berbicara langsung dengan instrumennya, menanyakan apa yang bisa mereka ciptakan bersama.
"Pacek Poleng": Karya Agung yang Menggema di PKB