Ketegangan antara Iran dan Israel semakin membara. Serangan drone, retorika militer, hingga aksi balas dendam terbuka di langit Timur Tengah memperlihatkan bahwa konflik ini bukan lagi sekadar perang proksi. Banyak yang mulai bertanya: Akankah ini menjadi perang besar yang menyeret seluruh kawasan, atau justru berakhir seperti api dalam sekam?
Saya mencoba membaca arah konflik ini berdasarkan beberapa skenario yang disusun oleh para pakar Timur Tengah dan analis militer global. Tentu tidak ada yang dapat memprediksi masa depan dengan pasti, namun membaca pola dan memetakan kemungkinan adalah salah satu upaya penting agar publik memahami betapa seriusnya situasi ini.
Titik Kritis: Dari Perang Proksi ke Konfrontasi Langsung
Selama bertahun-tahun, konflik Iran-Israel berlangsung dalam bayang-bayang perang proksi. Iran mendanai dan mempersenjatai kelompok seperti Hizbullah di Lebanon, Houthi di Yaman, dan milisi Syiah di Irak dan Suriah. Sementara Israel menargetkan milisi-milisi itu melalui serangan udara yang presisi, namun tanpa mengakui keterlibatan langsung secara terbuka.
Namun situasi berubah drastis pada April 2024, ketika Iran secara terang-terangan meluncurkan ratusan rudal dan drone ke arah Israel sebagai balasan atas serangan terhadap konsulat Iran di Damaskus. Israel membalas dengan menyerang pangkalan strategis Iran di Isfahan. Inilah momen penting di mana konflik tak lagi bersifat "proksi", melainkan konfrontasi langsung antar dua negara.
Tiga Prediksi Akhir Konflik Berdasarkan Pengamatan Para Ahli
1. Perang Dingin Baru di Timur Tengah (Kemungkinan Tinggi)
Menurut Trita Parsi, pendiri Quincy Institute dan analis kebijakan luar negeri AS, yang paling mungkin terjadi adalah perang jangka panjang dengan skala rendah---semacam "Perang Dingin" regional. Iran dan Israel akan menghindari perang terbuka karena:
Iran tidak ingin membuka pintu bagi kehancuran ekonominya yang sudah tertekan akibat sanksi.
Israel sadar bahwa perang terbuka dengan Iran dan Hizbullah secara bersamaan bisa menyebabkan kehancuran di front dalam negeri.
Alih-alih perang total, keduanya akan melanjutkan operasi senyap, seperti serangan siber, pembunuhan target, sabotase fasilitas, dan dukungan kepada milisi lokal.
Kesimpulan: Konflik akan berlangsung lama, intensitas fluktuatif, dan berisiko meletup sewaktu-waktu.
2. Eskalasi Terbatas dan Mediasi Internasional (Kemungkinan Sedang)
Kenneth Pollack, analis senior Brookings Institution, berpendapat bahwa jika konflik mulai mengganggu stabilitas kawasan secara signifikan (terutama jalur minyak dan perdagangan), maka negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia, China, dan negara Teluk akan turun tangan mendorong de-eskalasi.