Penulisan artikel ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap semakin memudarnya nilai-nilai budaya dan religius yang menjadi identitas masyarakat Minangkabau, khususnya dalam konteks mahasiswa rantau yang menempuh pendidikan di lingkungan perkotaan seperti Jakarta. Prinsip atau falsafah hidup yang dikenal luas dalam masyarakat Minangkabau, yakni "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" (adat bersendi pada agama, agama bersendi pada kitab Allah), bukan sekadar semboyan, melainkan sistem nilai yang telah membentuk struktur sosial, etika, dan moral komunitas Minangkabau selama berabad-abad. Namun, dalam praktik kehidupan mahasiswa perantauan di kota besar, nilai ini mengalami tantangan yang signifikan.
Fenomena ini menjadi semakin relevan untuk dikaji dalam perspektif kebudayaan dalam Sosiologi, karena menunjukkan bagaimana proses urbanisasi dalam kajian sosiologi kebudayaan dapat memengaruhi struktur sosial, pola pikir, dan cara hidup individu. Artikel ini ditulis sebagai bentuk refleksi sosiologis atas perubahan nilai dan gaya hidup yang dialami oleh mahasiswa Minangkabau ketika mereka berhadapan dengan budaya baru, tuntutan akademik, serta tekanan modernisasi di lingkungan kota.
Masyarakat Minangkabau dikenal memiliki fondasi filosofis yang kokoh dalam menyeimbangkan tatanan adat dan ajaran agama Islam, yang terangkum dalam falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Falsafah ini secara historis menjadi pemandu moral, sosial, dan kultural bagi individu dan komunitas. Namun, gelombang globalisasi dan modernisasi yang tak terhindarkan mendorong terjadinya pergeseran demografis signifikan, salah satunya adalah migrasi para pemuda Minang dari kampung halaman (ranah) ke pusat-pusat metropolitan seperti Jakarta untuk menempuh pendidikan tinggi. Perpindahan ini bukan sekadar transisi geografis, melainkan sebuah lompatan sosiologis dari lingkungan yang homogen ke dalam realitas urban, individualistis, dan kental dengan nilai-nilai global. Fenomena inilah yang menjadi titik berangkat analisis artikel ini.
Oleh karena itu, artikel ini mengajukan tesis bahwa proses transisi dari lingkungan sosial di Minangkabau ke lingkungan urban-metropolitan Jakarta menciptakan sebuah tegangan nilai bagi mahasiswa Minang di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Tegangan ini mengakibatkan terjadinya negosiasi ulang identitas, di mana falsafah ABS-SBK yang semula menjadi fondasi utama, kini mengalami proses adaptasi dan pergeseran makna demi beradaptasi dengan tuntutan individualisme, rasionalitas akademis, dan pluralisme budaya yang dominan di lingkungan perkotaan.
Artikel ini akan menjabarkan tesis tersebut dengan mengurai bagaimana interaksi sosial di kampus, paparan media digital, dan tekanan untuk mandiri secara personal menjadi arena pertarungan antara nilai-nilai tradisi yang diwariskan dengan modernitas yang dijalani. Pilihan-pilihan yang dibuat oleh para mahasiswa ini pada akhirnya merefleksikan sebuah perubahan sosial yang lebih luas mengenai bagaimana sebuah identitas etno-religius beradaptasi atau mungkin terkikis di tengah gempuran globalisasi.
Penulis menyadari bahwa artikel ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Semoga artikel ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi diskursus sosiologi mengenai globalisasi, identitas, dan perubahan sosial di Indonesia.
Angka Perantau Minangkabau
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia
Fenomena merantau telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas sosial dan budaya masyarakat Minangkabau. Berdasarkan data yang ditampilkan, jumlah perantau asal Sumatera Barat yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia bahkan mencapai angka yang sangat mencolok, yaitu:
- Pada tahun 1980 sebesar 558.804 Penduduk
- Pada tahun 1990 sebesar 642.908 Penduduk
- Pada tahun 2000 sebesar 937.799 Penduduk
- Pada tahun 2010 sebesar 1.151.433 Penduduk
- Pada tahun 2015 sebesar 1.148.930 Penduduk
Tercatat di dalam kategori persentase tahun yang berbeda beda dalam data yang sudah ada, Meskipun tidak dijelaskan secara lebih jelas dalam pengambilan data-data mengenai kategori wilayah pengambilan data, namun angka-angka tersebut menunjukkan bahwa tradisi merantau pada masyarakat Minangkabau tergolong menjadi salah satu data tertinggi yang terdapat di Indonesia.
Tradisi merantau dalam masyarakat Minangkabau tidak hanya sekadar fenomena ekonomi, melainkan juga merupakan bagian dari sistem nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam perspektif sosiologi, merantau merupakan bentuk dari proses mobilitas sosial horizontal maupun vertikal, yang seringkali dikaitkan dengan upaya mencari peluang kerja, pendidikan, maupun aktualisasi diri di wilayah-wilayah yang lebih menjanjikan dari segi ekonomi dan akses sosial. Jumlah perantau Minangkabau yang mencapai lebih dari satu juta orang menunjukkan bahwa merantau bukan lagi sekadar pilihan pribadi, tetapi sudah menjadi kebiasaan turun temurun dalam budaya Minangkabau.