Lihat ke Halaman Asli

nasri kurnialoh

Dosen STAI Haji Agus Salim Cikarang

Membunuh Kemiskinan Mulai dari Masjid

Diperbarui: 10 April 2024   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Satu-satunya infrastruktur milik publik yang relatif merata adalah masjid. Islam tak membatasi penggunaan masjid pada perbedaan cara pandang jemaahnya. Mau konservatif, modernis, revivalis bahkan liberal bisa bersama menggunakan masjid. Bahkan, jika saja saat Dinasti Abasiah tak membatasi gerak masjid hanya untuk ibadah, maka masjid akan jadi satu-satunya situs sentrum kegiatan untuk muslim. 

Dulu ada semacam pembatasan masjid agar hanya kegiatan ibadah saja. Politik, ekonomi dan sains tak dibicarakan di masjid. Hingga, sampai hari ini, sebanyak apapun situs masjid, rupanya tidak berdampak massif bagi kehidupan ekonomi.

Padahal jika jujur, hanya masjidlah yang punya posisi strategis untuk mengurangi kemiskinan. Jema'ah tak butuh kartu anggota, tak butuh ormas, tak butuh formalitas dan pastinya setiap muslim berkoloni pasti ada satu masjid sebagai identitas agamanya. 

Rasa memiliki masjid pun akan dirasakan oleh semua masyarakatnya. Jadi, jumlahnya pasti banyak dan akan berdampak signifikan. Asal fungsi masjid dikembalikan dan dikelola seperti masa Rasulullah dulu. Semua bisa dilakukan di masjid sebagai "rumah besar" umat muslim. Ia wajib milik publik melalui wakaf, ia pun wajib menjadi "sunan" pelindung bagi jama'ahnya.

Di masjid bisa mengajarkan financial literacy melalui kajian fikih muamalah. Di sana pun bisa mempertemukan pelaku usaha dan aghniya dengan calon pengusaha yang dhuafa. Mereka bisa berdialog bagaimana rantai ekonomi jadi tema yang saling melengkapi. 

Yang kaya bantu modal, ekonom bantu secara praksis, yang calon usahawan bisa menjadi mitra usaha yang saling menguntungkan. Jadi materi edukasi masjid jangan hanya teologi atau ilmu ukhrowi saja tapi harus menciptakan semangat ekonomi agar saling bantu. 

Kajiannya pun jangan hanya narasi seperti kajian lain yang abstrak, tapi harus benar-benar mengsinergikan teori dan praktik serta potensi jemaah yang tentu saja beragam.

Pun masjid mesti menggunakan instrumen filantropi untuk menggerakan ekonomi. Bagi yang konsumtif gunakan zakat, bagi yang investatif gunakan wakaf, bagi kemaslahatan umum gunakan infak. 

Masjid harus melayani konsumsi fuqara masakin melalui pengumpulan zakat. Jemaah aghniya pun mesti sadar bahwa membayar zakat bukan hanya kewajiban tapi kemanusiaan yang dikelola oleh masjid. Aghniya pun mesti membantu investasi modal agar dananya bisa mengubah yang miskin jadi kaya. 

Wakaf harus jadi instrumen investasi dengan segala pilihan yang tentu saja akan jadi dana produktif. Biarlah masjid tidak megah dan berlantai marmer, asal eksistensi masjid benar-benar melayani dhuafa, memfasilitasi aghniya dan membangun ekonomi bagi jemaahnya. Di sinilah kompetensi takmir masjid diuji. Apa hanya ingin menguasai masjid atau jadi pelayan masjid dan jema'ahnya?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline