Lihat ke Halaman Asli

Musfiq Fadhil

TERVERIFIKASI

Abdul Hamma

Cinunuk (1)

Diperbarui: 31 Oktober 2021   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Jika tidak keliru, ini adalah malam keempat kami berdua masih tersesat di belantara gunung Cinunuk. Gunung yang pada mulanya kami anggap sebagai gunung paling indah, bahkan melebihi keindahan gunung yang berada di dada perempuan.

Dari kejauhan, gunung Cinunuk terlihat seperti permata hijau yang berkilauan. Memandang tubuhnya yang montok begitu menyegarkan dan puncaknya yang menyembul dari dekapan awan itu membuat hasrat mendaki kami tidak ketulungan.

Pun ketika Aku dan Daud mendakinya. Sepanjang perjalanan mata kami melulu dihidangkan dengan keindahan. Ada pepohonan rimbun rindang memayungi kiri-kanan.

Ada monyet-monyet riuh berloncat-loncatan, batu-batu besar berlumut yang bisu, dan angin yang halus mengembus membuat kami sangat menikmati langkah setapak demi tapak trek yang ternyata juga mulus.

Namun keindahan itu melenakan kami. Sebab kami terlalu masyuk sepanjang jalan, kami sampai tak menyadari bahwa langkah kami jauh melenceng dari jalur pendakian. Kami baru sadar telah tersesat ketika ada sebuah jurang menganga menghadangi langkah kami.

Setelah itu, berhari-hari kemudian kami berdua terus mencari jalan keluar dari belantara ini. Kami membelah pepohonan, melompati gundukan, bebatuan, menebas semak belukar yang melintang dan sesekali terpeleset hampir jatuh dimakan jurang. Tapi sia-sia.

Semua perjuangan selalu berakhir di titik ini, tempat keberadaan gua kecil dan sebuah pohon besar entah apa namanya ini tumbang tepat di depan mulut gua hampir menutupi akses masuknya.  Ya, empat malam kami lalui ternyata hanya dibuat mondar-mandir saja di sekitar gua ini.


Dan kelelahan lagi-lagi membuat kami terpaksa bermalam di gua kecil yang ngepas untuk ditiduri kami berdua sambil berharap esok pagi jalan keluar bisa kami temui.

Bikin Tenda? Kami terlalu malas habiskan energi kalau sudah ada gua yang minimal bisa menghalau dingin angin gunung atau tempat berteduh jika hujan turun ketika kami sedang tidur.

Malam keempat ini rasa hausku sungguh sudah tidak tertahankan. Lalu dalam benakku tiba-tiba muncul ide. Maka aku berdiri di depan gua, dan segera membuka risleting celana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline